Bagian Dua Puluh Empat

166 20 0
                                    

Bagian Dua Puluh Empat: Merasa Dicintai

Seluruh keluarga Ryan menyambut keadaan Ryan dengan sukacita. Ayahnya, Bundanya, kakaknya, juga ponakan-ponakannya yang masih kecil. Tak terkecuali Daffa. Ia memang tidak menunjukkan rasa senangnya, tapi bagaimanapun juga, aku tahu dia ikut senang melihat kondisi Ryan yang semakin membaik dari hari ke hari.

Kini, aku tengah duduk di kursi yang berada di samping ranjang Ryan dengan ia yang terduduk di hadapanku. Di atas ranjangnya. Aku sudah keluar dari rumah sakit ini sejak dua hari yang lalu. Dan kini, seragam sekolah yang bau keringat dan matahari ini masih setia melekat di tubuhku.

Memang, aku sudah diperbolehkan untuk pulang, tapi tidak dengan Ryan. Ia disarankan untuk libur beberapa hari oleh dokter karena kakinya yang belum sembuh total. Juga tangannya. Itu sebabnya, ia belum boleh banyak bergerak.

Tapi Ryan adalah Ryan. Dan aku baru tahu bahwa memperingatkan Ryan sama dengan merubah batu menjadi emas. Susaaah ... sekali. Dan bahkan, tidak mungkin.

Ryan begitu pecicilan, sangat. Ia tidak mau diam. Ia bahkan tidak merasakan rasa sakit di tangan dan kakinya sama sekali hingga ia menjadi sangat tidak mau diam.

Dia menggodaku. Di setiap saat.

Memainkan rambut sebahuku dengan jarinya. Ia bahkan mencubit cuping hidungku beberapa kali. Juga membelai kedua pipiku yang chubby secara bergantian dengan sebelah tangannya yang tidak sakit itu.

Aku mendengus kesal dengan kelakuan usilnya.

Benarkah ini adalah sosok Ryan yang sesungguhnya? Rohnya tidak tertukar dengan orang lain di luar sana saat ia koma kemarin, 'kan?

"Ck! Ryan! Diem, ah!" seruku kesal saat ia tengah menjewer cuping telingaku pelan. Ia tertawa pelan mendengar seruanku tanpa melepaskan jari tangannya dari telingaku.

"Kamu beneran Ryan bukan, sih?! Kok jadi begini?!" pekikku kesal. Ia menghentikan gerakan tangannya di telingaku. "Ini Ryan yang sebenernya," bisiknya pelan. Tepat di depan telingaku hingga membuatku menahan nafas untuk beberapa saat.

Ia memajukan dirinya hingga mengikis jarak di antara kita. Menyisakan tiga sampai lima senti sebelum ia membelai pipiku, lagi.

"Aku masih inget chat terakhir kita. Seminggu yang lalu. Sebelum aku kecelakaan. Kamu bilang, ada yang mau kamu tanyain, 'kan? Apa?" tanyanya masih dengan sebelah tangannya yang membelai pipiku lembut.

Aku meneguk salivaku perlahan. Merasa gugup dengan jarak antara aku dan Ryan yang sedekat ini. perlahan tapi pasti, aku menjawab pertanyaan Ryan, "Nanti aja. Lagipula, kamu masih sakit."

"Aku udah gak sakit lagi. Kamu tau itu, 'kan?" tanyanya. Nafasnya berhembus di sekitar wajahku. Sangat jelas terasa.

"Aku tau. Tapi aku gak yakin. Tangan dan kaki kamu masih di gips. Itu beneran gapapa? Lagipula, kamu juga belum bisa jalan, belum bisa mandi sendiri, makan sendiri, juga kesusahan tiap mau ganti baju," jawabku angkuh. Ia lantas menjauhkan wajahnya dariku dan menggeram tertahan.

"Fine!" serunya kesal sambil menengadahkan kepalanya ke atap rumah sakit. Aku lantas mengusap kedua lengannya perlahan. Mencoba mendapat fokusnya yang kemudian berhasil. Kini, arah pandangnya berubah menjadi ke arahku. Seperti apa yang kuinginkan.

"Aku akan kasih tau kamu pertanyaan aku yang mengganjal itu tepat di saat kamu kasih tau juga semua tentang diri kamu ke aku. Adil, 'kan?"

Ia terdiam. Begitupula aku. Sebelah tangannya yang tidak di gips itu kemudian membelai puncak kepalaku pelan dengan senyuman simpul di wajahnya. Tanpa sadar, aku ikut tersenyum.

Matcha ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang