Bagian Empat: Gamang
Dari ujung mataku, aku dapat melihat seseorang mendatangi kelas yang tengah kosong--karena para penghuninya sibuk makan siang di kantin--dengan rusuh. Ia lantas bergerak menuju ke kursiku. Tempatku menyibukkan diri dengan novel di tangan.
Dengan tidak tahu dirinya, ia segera saja menarik novel yang ada di tanganku dan lantas mendudukkan dirinya di seberangku. Ia terdiam sesaat dengan kedua matanya yang menatapku tajam.
Seolah dengan kedua matanya itulah ia mampu menguak semua rahasia yang kumiliki. Seakan dengan tatapannya itulah ia dapat mengintimidasiku.
Dan sejujurnya, itu cukup bekerja. Sedikit.
"Lo beneran orang yang nempelin permen karet di kursinya Ryan, Di?"
Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulutnya yang membuatku memutar kedua bola mata jengah. Orang itu, Sayla. Seseorang yang baru saja kukenal beberapa jam yang lalu, tapi berlagak seolah telah lama mengenalku.
Tanpa mengindahkan pertanyaannya, aku memilih untuk menarik novelku yang berada di genggamannya dan kembali larut dalam bacaanku.
"Iih, jawab dulu!" serunya kesal seraya menarik novelku, lagi.
"Ck! Kenapa, sih, emangnya? Penting?" Aku balik bertanya padanya dengan kesal. "Ya penting, lah! Lo jadi digosipin yang aneh-aneh sama anak-anak," balasnya bersimpati. Aku berdecak pelan.
"Makasih, loh, sebelumnya. Lo perhatian banget ke gue nyampe mikirin apa kata orang tentang gue segala," ucapku sarkastik. Ia lalu menguraikan senyum simpulnya. "Sama-sama."
"Tapi, beneran. Emang gue digosipin apa aja, sih?" tanyaku mulai tertarik.
"Banyaak! Ada yang bilang, lo sok jagger, lah! Lo pengen dipanggil queen bee, lah! Lo caper--cari perhatian, lah! Yaa, gitu-gitu!" jawabnya yang membuatku berdecak kesal.
Mana mungkin aku caper? Jadi pusat perhatian satu kantin tadi saja sudah membuatku jengah. Risih.
"Lo gak mungkin 'kan jadi pelaku penindasan Ryan?" Sayla kembali bertanya. Aku kemudian mencondongkan tubuhku agar dekat padanya dan berbisik pelan, "Emang kenapa kalo gue pelakunya?"
"GILA!" umpatnya tepat di depan wajahku. Aku terkejut pelan dan mulai membenarkan kembali posisi dudukku hingga punggungku bersandar pada sandaran kursi.
"Masuk SMA ini tuh gak gampang! Tapi keluarnya gampang banget. Lo gak boleh ini lah-itu lah. Kalo lo ngelanggar aturan, lo dapet poin. Dan kalo poin lo udah seratus, go out dari sini! Dan penindasan masuk ke salah satu aturan itu. Poinnya dua puluh lima. Empat kaliii aja lo nge-bully orang, lo langsung di drop out dari sini! Untung aja kasus lo tadi gak diproses," jelasnya panjang lebar yang membuatku merenung.
Semua perkataan Sayla itu memang benar. Terlampau benar. Untung saja skandal pagi tadi tidak diproses oleh guru biologi yang merangkap sebagai wali kelasku itu. Mungkin ia pikir, si idiot itu hanya ceroboh di hari-hari awalnya masuk Nusa Bangsa.
Entahlah! Setidaknya, itu yang kupikirkan.
"Lo gak mau 'kan dikeluarin dari sini? Setelah perjuangan keras lo masuk sini?" Ia kembali bertanya yang sama sekali tak kuacuhkan. Aku masih sibuk berpikir dan merenung.
"Pikirin baik-baik semua ucapan gue, Di. Dan, oh ya, satu lagi! Saran gue, lo jangan berurusan sama Ryan ataupun Kak Alvian. Mereka punya some complicated story. Tapi itu, sih, up to you. Gue cuma ngasih saran doang."
Setelah mengucapkan itu, sepertinya ia tahu aku butuh waktu sendiri. Maka dari itu, ia kembali menyimpan novelku di atas meja dan berlalu dari hadapanku.
Kini, haruskah aku melupakan dendam itu? Tapi, mampukah? Setelah ia dengan tidak tahu dirinya menghancurkan hari bersejarahku? Setelah ia dengan tidak tahu dirinya telah membuatku pingsan tanpa sekalipun berkata maaf?
Intinya, dia sangat menyebalkan. TITIK!
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Teen Fiction[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...