Bagian Dua Puluh Delapan: Pecundang!
Aku memilih diam dan duduk manis di ruang TV sembari menonton serial Netflix. Sebelah tanganku memeluk keripik kentang dan kedua mataku fokus pada TV.
Ini sudah setengah jam semenjak mereka 'ngobrol' berdua di dalam kamar Ryan. Yaa, sebenarnya, Ryan juga terkejut saat melihatku yang menggiring Alvian masuk ke rumahnya yang tengah sepi.
Tapi, melihatku yang nampaknya serius, ia menghiraukan rasa terkejutnya itu dan malah menyuruh Alvian masuk ke kamarnya.
Awalnya, aku diajak. Tapi aku pikir, tidak perlu. Lagipula, aku tidak terlalu diperlukan di dalam sana. Cukup mendengar versi lengkapnya saja dari mereka nanti. Saat ini, biarkan mereka saja dulu membenarkan masalahnya.
Salah paham.
Tanpa sadar, aku menggedikkan bahuku ngeri dengan kata itu.
Salah paham itu ... menyeramkan. Dahsyat sekali akibatnya. Mampu membutakan mata dan juga hati. Dan tanpa disadari, telah menimbulkan dendam.
Lima menit kemudian, pintu kamar Ryan terbuka dan menampilkan sosok Alvian yang keluar lebih dulu. "Udah? Gimana? Beres?" tanyaku to the point. Ia tersenyum simpul padaku. "Tanya aja ke Ryan. Btw, thanks."
"Nope. Gue gak masalah!" balasku dengan balas tersenyum juga padanya. Sesaat kemudian, ia terlihat gugup dan dengan perlahan, ia mendekatiku dan ikut duduk di sampingku.
"Btw, gue mau jujur sama lo." "Tentang apa?" tanyaku dengan sebelah alis mengangkat. Bingung.
"Tentang tragedi bola basket waktu itu," balasnya yang membuatku menjentikkan jari. "OH! YANG ITU?! Kenapa emangnya? Gue udah balas dendam, kok, ke dia! Ryan, 'kan?" Ia meringis pelan mendengar ucapanku.
"Mm ... sorry ya, Audi. Tapi, lo salah sasaran. Lo juga salah paham ke dia," ucapnya kemudian. Aku mengernyitkan dahi. "Masa, sih? Terus, siapa, dong?"
"Itu ... itu tuh ... gue," jawabnya gagap. Seketika, aku syok mendengarnya. "Lo ... bercanda, 'kan? Lo bahkan bantuin gue nyari kelas waktu itu. Jadi, gak mungkin elo orangnya, 'kan?" Aku memberinya runtutan pertanyaan. Ia kembali meringis.
"Unfortunately, emang gue pelakunya," lanjutnya pelan. Aku terdiam, tak mampu berkomentar. "Sorry," pintanya lagi begitu tak mendapat responku. Aku malah menatapnya lurus-lurus dengan pandanganku yang berubah menjadi datar.
"Gue udah janji waktu itu. Lo sendiri ... tau, 'kan?" ucapku padanya dingin. Ia menganggukkan kepalanya pelan. "Jadi, apa yang akan gue terima?" Ia balik bertanya. Dan kemudian, tidak cukup lama setelah itu, sebelah tanganku yang kosong terulur bebas menyapu pipi kirinya. Aku menamparnya. Tidak cukup keras, tapi mampu membuat pipinya memerah dan kesakitan
"Bangsat. Lo beneran bangsat, Al!" desisku tajam. Alvian terdiam sembari meringis. Mungkin, ia tengah menahan rasa pedih di pipinya.
"Pengecut lo! Kenapa lo gak bilang saat itu juga? Lo bahkan baik banget ke gue saat itu..." lanjutku lemah.
"Sorry."
Hh!
Lagi-lagi, ia mengucapkan kata maaf itu. Aku menghiraukannya dan melambaikan sebelah tanganku di hadapan wajahnya. "Keluar sono! Gue lagi males liat muka lo."
Dan setelahnya, ia keluar dari rumah Ryan sebelum—lagi—mengucapkan kata maaf untukku.
"Dia beneran pengecut, 'kan?"
***
"Sejak kapan kamu ada di situ?" tanyaku tanpa menatap Ryan yang tengah bersusah payah berjalan menujuku dari depan pintu kamarnya.
"Sejak kamu nampar dia?" jawabnya skeptis sambil tetap tergopoh-gopoh.
Tak kuat melihatnya, aku kemudian bangkit dari sofa dan menuntunnya pelan. Membantunya untuk sampai di sofa tempatku duduk tadi.
"Thanks," ucapnya dengan senyuman sesaat setelah aku mendudukkannya di atas sofa.
Aku kemudian ikut terduduk di sampingnya. "Kamu tau, 'kan?" tanyaku bahkan tanpa menatap wajahnya.
"Tau apa?" Ia balik bertanya dengan bodohnya.
"Pelaku penimpukan bola basket waktu itu. Kamu tau siapa pelakunya itu, 'kan?" jelasku. Ia mengangguk pelan. "Pasti, lah! Aku 'kan, ada pas di TKP. Jelas keliatan banget kalo si Alvian pelakunya."
"Terus, kenapa kamu gak ngelak waktu itu?" Aku kembali bertanya. "Waktu itu, Daffa tiba-tiba manggil aku yang ada di UKS. Inget?" Aku menganggukkan kepalaku. Masih teringat dengan jelas momen itu.
"Jadi, gimana?" Aku lagi-lagi bertanya. Kali ini, aku memalingkan wajahku hingga menatap wajahnya yang juga tengah menatapku bingung.
"Masalah kalian berdua. Clear?" jelasku. Ia mengangguk pelan sambil mencomot keripik kentang yang kulemparkan ke atas sofa tadi saat mencoba membantunya berjalan.
"Semuanya udah beres. Dan penutupnya, saat dia jujur tentang perasaannya ke Gia, nanti."
"Kapan?"
"Kalo aku udah bisa masuk sekolah lagi. Waktu yang cukup panjang, 'kan?" Aku mengangguk mengiyakan. Tanganku lantas memeluk sebelah tangannya dan menyenderkan kepalaku di atas sana dengan nyaman. Tak tinggal diam, sebelah tangannya lantas mengusap puncak kepalaku pelan.
"Yang tadi itu ... pasti kamu yang nyuruh!" ucapku menebak dengan sedikit menuduhnya. Ia tertawa pelan. "Tau aja!"
Dan petang itu, aku ikut menemani Ryan menonton Netflix di rumahnya dengan keripik kentang dan minuman bersoda sebagai camilannya. Hanya berdua.
Ini ... cukup romantis tidak, sih?
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Fiksi Remaja[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...