10 | Pukulan Keras

17.2K 1.1K 64
                                    

⚠️DAERAH RAWAN HUJATAN! SIAGA 1

-------------------------○°○-------------------------

Nata menatap cangkir yang berisi cokelat panas yang terletak di depannya. Menatapnya dengan tatapan kosong. Sungguh, seseorang pasti tahu bagaimana hancurnya perasaan Nata saat ini. Punggung sempitnya terlihat membungkuk, menumpu beban berat yang tengah dia pikul.

Nata menarik napas dalam. Mengisi paru-parunya yang terasa menyesakkan. Bahkan tanpa diperintah sebulir kristal luruh dari pelupuknya. Ini menyakitkan Tuhan! Bukankah Nata sudah berjanji untuk tidak mengeluh tapi kenapa semua terasa begitu berat?

"Mama?" Panggilan lirih itu membuat Nata mengusap air matanya cepat. Memutar tubuhnya guna melihat sang pemilik suara.

Di ujung tangga terlihat Javis berdiri di dalam gelapnya ruangan. Benar, Nata sampai lupa menghidupkan lampu sejak tadi. Maniknya melirik jam yang bertengger di dinding. Pukul setengah dua malam.

"Kenapa Kakak bangun jam segini?" Nata balik bertanya.

Dilihatnya Javis yang melangkah mendekat. Mendudukkan bokongnya di kursi yang ada di depan meja pantri. Menatap ibunya yang masih setia memandangnya.

"Aku haus, Ma," ucapnya.

Senyum Nata terkulum. Lantas beranjak dari tempatnya, "Mau air es atau air biasa?"

"Air biasa," jawab Javis. Maniknya masih setia menatap gerakan ibunya.

Wanita itu menyodorkan gelas yang berisi air ke depan anak lelakinya. Tersenyum hangat saat pemuda itu menegak airnya hingga setengah tandas. Nata sejenak kembali diam saat sesak kembali menyergapnya. Membuat perasaannya melilit tidak karuan.

Pikirannya kembali pada keluarganya. Apa yang akan terjadi pada keluarganya? Jika sampai hal buruk terjadi, lantas bagaimana nasib kedua anaknya?

Tidak! Nata tidak akan pernah membiarkan sesuatu apapun menyakiti keluarganya. Bukankah dia sudah menjadi lebih tangguh? Ya, dia harus! Demi dua malaikat yang Tuhan kirimkan untuknya.

"Mama menangis?" Pertanyaan Javis itu mengembalikan kesadaran Nata.

Dengan cepat tangannya menghapus air mata yang jatuh tanpa dia sadari. Segera dia menggeleng cepat, "Mama tidak menangis. Ini hanya kelilipan," kilahnya, seperti tengah berbohong pada anak kecil yang akan langsung percaya. Tapi nyatanya ini adalah si genius Javis. Tidak mungkin dia akan percaya secepat itu.

Manik biru itu menajam, menatap ibunya yang masih menghapus sisa air matanya. Entah mengapa rasa marah meruak di dadanya. Merasa tidak rela saat melihat air mata itu luruh dari pelupuk indah ibunya.

"Apa karena Papa?"

Kembali pertanyaan Javis itu membuat Nata menatap ke arahnya cepat. Dia menggeleng dengan kuat. "Bukan, Sayang. Mama hanya kelilipan." Nata menerjap sesaat, "Lihat Mama sudah tidak apa-apa. Pasti debunya sudah hilang." Melihat Javis yang hanya menatapnya Nata kembali berucap, "Kembalilah ke kamar. Ini sudah malam," titahnya lembut.

Javis masih terdiam. Mendesah pelan, lantas kembali meminum sisa air miliknya. "Aku akan kembali ke kamar. Mama cepatlah istirahat," ucapnya lantas bangkit dari duduknya.

Setelah memastikan Javis hilang dari pandangannya. Air mata itu kembali luruh. Tidak bisa lagi Nata tahan setelah berdesakkan. Nata semakin terisak, bibirnya dia gigit untuk menahan agar tidak ada suara. Ini semakin menyakitkan, melihat anak-anaknya akan ikut terluka membuat Nata hancur. Luar biasa, menyakitkan rasanya. Dia mencekam erat meja pantri yang menjadi tumpuannya. Tuhan bukankah sudah cukup semua rasa sakit yang Nata terima?

Hello The Pass ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang