Ednan menatap notebook di hadapannya. Pandangannya terlihat tidak fokus. Sungguh, pikiran Ednan sedang tidak tenang saat ini. Entah mengapa kata-kata Eveline tempo hari selalu saja bersinyalir di dalam pikirannya.
Kita sudah sama-sama dewasa saat ini. Sangat dewasa malah. Bukankah sudah saatnya bagi kita untuk memperbaiki semuanya? Semua kesalahpahaman yang terjadi di antara kita. Kita harus berdamai.
Ednan mengehela napasnya. Jika dipikirkan kembali, rasanya kata-kata Eveline ada benarnya.
Benar, mereka sudah sangat dewasa dan tidak seharusnya mereka masih mempermasalahkan masa lalu. Mungkin memang Eveline sudah melakukan kesalahan, tapi itu dulu. Dan itu sudah sangat lama berlalu. Bukankah sudah saatnya Ednan mencoba berdamai dengan masa lalunya?
Klek!
Ednan tersentak dari lamunannya. Pandangannya dengan otomatis beralih pada sumber suara. Dimana Nata masuk dengan nampan di tangannya.
Senyum Ednan merekah, menatap istri tercintanya masuk ke dalam ruang kerjanya. Nata membalas kuluman senyum Ednan. Meletakkan cangkir berisi kopi yang masih mengepul di atas meja kerja lelaki itu.
"Terimakasih, sayang," Ucap Ednan. Wajahnya terlihat benar-benar berbinar.
Nata mengangguk kecil, "Sama-sama, Mas," balasnya dengan senyum meneduhkan yang menghiasi bibir mungilnya.
Nata berjalan mendekat, mendekap pundak Ednan dari belakang. Lantas menyandarkan dagunya di pundak lelaki itu. "Apa ada masalah?" Tanyanya.
Ednan terdiam sejenak, meraih jemari Nata yang melingkar di lehernya, lantas mengecupnya lama. Senyum Ednan mengembang, memutar kursinya guna menatap wajah meneduhkan istrinya.
Ednan menggeleng pelan, "Tidak ada apa-apa sayang. Hanya masalah kantor yang belum selesai," ucapnya, menarik Nata untuk duduk di pangkuannya. Lantas melingkarkan tangannya di pinggang ramping wanita itu.
Nata terdiam, menatap dalam manik biru suaminya. Dia tersenyum simpul, menangkup wajah tampan Ednan.
"Apa ada hal lain yang mas pikirkan?" Tanya Nata lagi.
Ednan kembali terdiam. Sungguh, Nata sudah terlalu mengenalnya. Bahkan masalah sekecil apapun wanita itu pasti dapat membacanya dari manik birunya.
Ednan menggeleng pelan, "Dimana anak-anak?" Ucapnya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Diam. Kini Nata yang bergeming, matanya masih menatap lurus manik biru yang tampak sayu di depannya. Dia menghela napasnya sejenak, lantas melebarkan senyumnya.
"Mereka sedang belajar," jawab Nata. Mencoba menutupi rasa kecewanya.
Bagaimanapun Nata sudah terlalu mengenal suaminya. Beberapa hari ini Ednan bersikap tidak biasa. Lelaki itu terlihat sering tidak fokus pada apa yang dia lakukan. Dan Nata sangat yakin, ada sesuatu yang terjadi.
Nata mengecup bibir Ednan singkat, lantas bangkit dari pangkuan lelaki itu. "Mas segeralah istirahat. Bukankah mas besok ada meeting pagi?" Ingatnya.
Senyum Ednan mengulum tipis, menganggukkan kepalanya. "Aku akan menyelesaikan dokumen yang satu ini. Kau istirahatlah dulu," jawabnya.
Tanpa banyak kata Nata melangkah meninggal suaminya. Membiarkan Ednan tetap diam dalam keadaanya. Menatap punggung wanita itu yang lenyap di balik pintu.
Ednan mendesah pelan, mengusap wajahnya dengan gusar. Sungguh, ini bukanlah hal yang baik. Dia tidak ingin masalah seperti ini mengganggu keharmonisan rumah tangganya. Dia sangat tidak ingin membuat keluarganya merasakan hal seperti yang dulu pernah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello The Pass ✔
Romance[C O M P L E T E] [SEQUEL OF BECAUSE OUR BABY] "Apa kabar, Ed?" Mungkinkah sapaan dari masa lalu bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga Ednan? [11/09/'18] [02/10/'19]