22 | Penyesalan

24K 1.5K 101
                                    

Ednan memarkirkan mobilnya. Terdiam beberapa saat di dalam sana. Kembali manik biru miliknya terpejam erat, sembari jemari kokohnya memijit pangkal hidung. Sekarang apa yang harus dia katakan pada Nata? Semua ini kabar bahagia, benarkah seperti itu?

Perasaan sesal yang meruak di dalam dadanya begitu membuncah. Membuat Ednan sesak dengan teramat. Sungguh, jika dia bisa mengulang semuanya, dia berjanji akan memperbaiki semuanya. Namun waktu adalah aliran yang tidak akan bisa di ulang kembali. Semua berjalan begitu saja sesuai prosesnya.

Bola biru yang terlihat menyala kembali terbuka. Menoleh sesaat pada pintu bercat hitam di sampingnya. Menghela keras, sebelum akhirnya Ednan benar-benar keluar dari mobilnya. Sudah selayaknya dia bertanggung jawab pada apa yang dia lakukan. Dia yakin Nata akan mengerti dirinya. Pikirnya.

Lantas senyum miris tersungging dari bibirnya. Bagaimana mungkin Ednan masih mengharapkan maaf dari Nata? Tidak sadarkah betapa dasyat luka menganga yang Ednan torehkan? Tidak terhitung lagi berapa banyak luka yang wanita itu miliki karenanya.

Ednan tiba di depan pintu kamarnya. Menatap sejenak sebelum menghela napasnya. Entah kenapa dadanya benar-benar terasa sesak. Mungkin sesal yang meruak di dalam dadanya tengah memberontak. Membuncah memenuhi setiap rongganya.

Ednan memutar knop di dalam genggamannya. Mengernyit saat tidak menemui siapapun di dalam sana. Dia semakin melangkah masuk, matanya mulai mengedar. Namun tidak seorang pun yang bisa ditangkap retinanya. Otaknya mulai berpikir keras. Hingga rasa was-was mulai menyergap. Segera dia berlalu ke kamar anak-anaknya. Di mana dia juga tidak menjumpai siapa pun.

Napas Ednan memburu, merogoh ponsel miliknya. Segera menghubungi nomor Nata, beberapa saat Ednan menunggu namun sialnya ponsel wanita itu tidak aktif. Ednan mengerang, berkacak pinggang dengan gelisah. Kali ini dia menghubungi nomor Javis, namun sepertinya Ednan benar-benar sedang sial. Karena ponsel pemuda itu pun tidak aktif.

Otak Ednan berputar cepat. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Ednan mengusap wajahnya kasar. Tidak! Tidak mungkin Nata meninggalkannya. Lagi!

Segera Ednan berlalu pergi. Berjalan tergesa menuju mobilnya. Pikirannya berkelana. Kemana tempat pertama yang harus menjadi tujuannya? Tidak ada satu tempat pun yang bisa menjadi alasan kuat Nata untuk tinggal. Dengan kesal Ednan memukul kemudi di depannya.

Tuhan apa yang harus dia lakukan?

Merenung sesaat. Pikiran Ednan benar-benar bekerja dengan ekstra. Lagi, Ednan mengusap wajahnya kasar. Melajukan mobilnya entah kemana. Namun, sepertinya ada beberapa tempat yang bisa menjadi tujuan Nata jika wanita itu memiliki masalah.

***

Ednan memarkirkan mobilnya, segera dia keluar dengan tergesa. Menatap beberapa orang yang ada di teras rumah Calvin. Benar, rumah Calvin adalah tujuan utamanya. Dia tahu bahwa Nata bersahabat baik dengan Sienna. Dia yakin wanita itu pasti tahu di mana Nata saat ini.

"Paman, Ednan?" Cicitan Ashton menyadarkan semua orang.

Ricky yang baru saja ingin berpamitan memutar tubuhnya. Ditatapnya Ednan yang berjalan dengan tergesa menghampiri mereka. Hingga lelaki yang menatap mereka tajam berdiri tepat di hadapannya.

"Di mana Nata?" Pertanyaan yang meluncur mulus tanpa salam pembuka itu membuat semua orang mengerutkan kening.

Manik Ricky menatap Ednan penuh pemikiran. Keningnya berkerut, mencoba mencerna ucapan yang dilontarkan sahabatnya baru saja. Kali ini pandangannya berpindah pada Calvin yang terlihat menahan emosi. Bersitatap dengan sang pemilik manik biru. Pikiran Ricky berputar cepat. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Hello The Pass ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang