Nata menoleh kearah Javis yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu terlihat menatap pemandangan di luar dari kaca jendela. Perlahan jemari Nata menggenggam jemari pemuda itu. Membuatnya menoleh dengan cepat.
Senyum Nata terulas lembut, "Jangan pernah membenci Papa seperti ini. Meski Papa salah Kakak tidak boleh membencinya. Karena bagaimana pun, orangtua akan merasa sangat sedih jika anaknya membencinya. Papa juga seperti itu," ucapnya mengusap lembut tangan pemuda itu dengan ibu jarinya.
Javis terdiam, menatap ibunya yang memangku Becky yang kini tertidur. Beberapa saat Javis tidak memberikan respon apapun, hingga akhirnya dia menganggukan kepalanya. Mengundang senyum Nata untuk semakin lebar.
Suasana kembali hening. Javis masih setia pada pemandangan di luar jendela. Memikirkan segala permasalahan yang membuatnya dewasa sebelum pada waktunya. Taksi yang membawa mereka kini mulai menepi. Menyadarkan Javis dari lamunannya. Seketika keningnya berkerut, dengan cepat kepalanya berputar ke arah ibunya.
"Kita tidak kerumah nenek?" Tanyanya bingung.
"Tidak sayang. Nenek pasti akan cemas jika kita kesana selarut ini," ucapnya. Lantas wanita itu menyodorkan beberapa lembar uang pada supir taksi. Sebelum akhirnya mereka keluar dari sana.
Nata yang masih menggendong Becky, mulai membuka pintu kaca di depannya. Seketika aroma roti menyapa indera penciumannya. Ya, untuk sementara Nata memilih tinggal di toko roti miliknya. Dia tidak ingin membuat ibunya cemas jika dia harus tinggal di sana. Beruntung di dalam tokonya terdapat sebuah kamar yang ada di lantai atas.
Mereka segera masuk ke dalam. Javis segera meletakkan tas yang dibawanya ke atas sofa yang ada di sana. Sementara Nata, wanita itu menidurkan Becky di atas ranjang. Lantas dia kembali menemui Javis yang kini mulai merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Cepatlah istirahat, bukankah besok Kakak harus sekolah?"
Javis mendesah. Sekolah? Kenapa rasanya dia sangat malas untuk pergi ketempat itu. Mungkinkah karena Cassie? Masih segar di ingatan Javis, bagaimana manik hijau yang selalu menjadi favoritnya itu berkaca-kaca. Membuat Javis merasa sesak. Kenapa harus ibu Cassie yang bersama Papanya?
Nata mengernyit, menatap anak lelakinya yang melamun. "Apa ada masalah?"
Javis sedikit tersentak. Segera dia menggeleng dengan cepat, "Tidak ada," jawabnya. Lantas pemuda itu segera beranjak, "Kalau begitu aku istirahat dulu. Mama juga segeralah istirahat," ucapnya yang dijawab anggukan oleh Nata, lalu segera dia berjalan menuju kamar.
Nata terdiam. Mendudukan tubuhnya ke atas sofa. Dia membenamkan punggungnya, memejamkan matanya yang terasa begitu berat. Apakah dia sudah membuat pilihan yang tepat?
***
Sejak dua hari yang lalu, Ednan selalu saja uring-uringan. Bahkan semua pekerjaannya terbengkalai. Sungguh, sejak kepergian Nata dan anak-anak dari rumah Ednan benar-benar seperti orang gila. Dia hanya selalu pergi mengunjungi toko roti wanita itu, berdiam diri di dalam mobil hingga toko itu tutup.
Ednan tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Kenapa dia masih tidak bisa memberikan jawaban pada wanita itu. Jika Ednan hanya mencintainya, menginginkan Nata dan anak-anaknya untuk kembali. Tapi ada apa dengan dirinya? Kenapa dia tidak bisa melakukannya?
Manik Ednan menatap wanita yang keluar dari toko di depannya. Terlihat mengeratkan jaket yang membalut tubuh mungilnya. Wajahnya yang terkena cahaya lampu terlihat begitu cantik dengan helaian rambutnya yang menari karena terpaan angin.
Senyum wanita itu merekah, kala seorang pemuda yang terlihat sama persis dengan Ednan mendekat. Pemuda itu menyandarkan sepedanya, lantas menghampiri ibunya, mendekap wanita itu untuk kembali masuk ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello The Pass ✔
Romance[C O M P L E T E] [SEQUEL OF BECAUSE OUR BABY] "Apa kabar, Ed?" Mungkinkah sapaan dari masa lalu bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga Ednan? [11/09/'18] [02/10/'19]