13 | Haruskah aku pergi?

19.6K 1.3K 84
                                    

Javis menatap Cassie yang berjalan di sebelahnya. Sejak keluar dari sekolah gadis itu tidak henti-hentinya berbicara. Benar, saat ini Javis sedang malas untuk langsung pulang dan akhirnya berniat untuk memgantarkan Cassie. Namun, dia benar-benar jengah pada gadis di sebelahnya yang terus bercerita tentang segala hal, mulai dari hobinya, hingga guru yang menyebalkan di kelasnya. Semua itu hanya Javis tanggapi dengan senyuman karena dia benar-benar masih dalam mood malas untuk merespon.

"Oh, lelaki itu lagi?" Perkataan Cassie sembari menghentikan langkahnya yang tiba-tiba itu ikut menghentikan langkah Javis.

Pemuda itu menatap wajah kesal Cassie, lantas beralih pada objek yang menjadi perhatian gadis itu. Seketika manik Javis menyipit. Menatap dua orang dewasa yang terlibat percakapan, hingga pandangan yang membuat Javis semakin murka. Kedua orang itu berpelukan. Javis mencekam kuat sepeda miliknya. Napasnya tiba-tiba memburu dengan rahang terkatup kuat.

Cassie yang ada di sebelahnya menatap Javis bingung. "Kau tidak apa-apa?" Tanyanya terlihat cemas.

Javis kembali pada Cassie, menatap gadis itu lekat. Beberapa saat dia bergelut dengan pemikirannya. Hingga suaranya kembali terdengar, "Apa wanita itu Ibumu?" Tanya Javis setengah mendesis.

Kening Cassie mengkerut, menatap pemuda di depannya yang menunjuk dua orang masih berpelukan di kejauhan. Namun, dia menganggukan kepalanya karena memang wanita yang sedang di dalam dekapan seseorang itu adalah Ibunya, Eveline.

Bagai sebuah palu menghantam perasaan Javis. Sakit dan menyesakkan. Javis membuang muka sesaat, dengan dengusan kasar. Lantas kembali pada Cassie. "Mulai sekarang jangan pernah menampakkan wajahmu di depanku," ucap Javis tajam dengan telunjuk berada tepat di depan wajah Cassie.

Cassie tercekat. Merasa begitu terkejut dengan penuturan pemuda di depannya. Apakah dia tidak salah dengar? Ditatapnya pemuda itu yang berbalik arah meninggalkannya. Beberapa saat dia berhasil menguasai kesadarannya kembali. Dia berjalan cepat menyusul Javis yang melangkah dengan lebar.

"Javis tunggu."

Javis tidak menanggapi, dia terus melangkah dengan lebar. Saat ini hanya ada satu hal yang menjadi tujuannya.

"Javis tunggu!" Cassie setengah berseru. Dia menarik tas Javis membuat pemuda itu menghentikan langkahnya.

"Apa aku berbuat salah? Aku minta maaf jika aku melakukan hal yang membuatmu kesal," ucap Cassie dengan napasnya yang tiba-tiba sesak. Dia sungguh tidak tahu dimana letak kesalahannya.

Javis masih diam di tempatnya. Hingga beberapa saat dia memutar tubuhnya, menatap gadis yang menatapnya sendu. Manik Javis menatap tajam, menusuk ke relung mata gadis di depannya.

"Aku membecimu, Cassie. Aku membenci Ibumu. Aku membenci Papaku. Aku membenci kalian yang menghancurkan keluarga!" Bentakkan Javis itu membuat Cassie berjingkat.

Dia menatap Javis dengan napas yang memburu. "Anggap kita tidak pernah saling mengenal," ucap Javis akhirnya. Lantas kembali meninggalkan Cassie yang terdiam di posisinya.

Gadis itu masih membeku, menatap pemuda itu yang kini mulai menjauh. Dadanya bergemuruh, tanpa diperintah sebulir kristal luruh dari manik meneduhkannya. Mengapa terasa menyakitkan saat Javis mengatakan jika dia membencinya? Kenapa Tuhan?

Air mata semakin deras luruh dari pelupuk Cassie. Gadis itu semakin menangis dengan terisak mengabaikan fakta jika dia masih di pinggir jalan saat ini.

***

Javis masuk ke dalam rumahnya dengan tergesa. Mengabaikan sapaan Tini yang masih sibuk menyirami tanaman. Segera dia masuk ke dalam kamarnya, mengemasi beberapa pakaian miliknya ke dalam tas ranselnya. Setelah tas miliknya penuh dia segera beranjak. Berpindah ke dalam kamar adiknya, lalu memasukkan beberapa baju Becky ke dalam sebuah tas kecil. Lantas dia kembali bernjak. Kali ini dia masuk ke dalam kamar orangtuanya, membuka pintu dengan kasar. Segera dia mencari tas pakaian ibunya, lantas memasukkan beberapa potong pakaian ke sana.

Hello The Pass ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang