Sebuah mobil mewah terlihat terparkir di depan sekolah menengah atas, berjajar dengan mobil lainnya. Tak lama kaca jendela itu terbuka, bersamaan dengan seorang pemuda tampan yang melewatinya.
"Javis," seruan itu berhasil menghentikan langkah pemuda yang baru saja lewat.
Ednan, si pemilik mobil tadi, segera turun dari mobilnya. Berjalan cepat menghampiri Javis yang hanya menatapnya. Wajahnya begitu tampan hanya saja pandangannya menusuk, menghujam tepat ke manik biru milik Ednan. Senyum Ednan mengembang. Sungguh, dia tidak pernah merasa bosan menatap wajah tampan Javis meski ekspresi pemuda itu begitu dingin.
Hati Ednan benar-benar menghangat. Masih segar di benak Ednan bayangan bocah lelaki yang merengek meminta es krim padanya. Tapi lihatlah pemuda di depannya, dia benar-benar tumbuh menjadi pemuda tampan yang begitu tinggi. Bukankah dia tumbuh terlalu cepat?
"Hari ini kau pulang bersama Papa. Papa akan mengajakmu ke suatu tempat," ucap Ednan.
Masih diam, wajah dingin Javis tidak menyiratkan ekspresi sama sekali. Hingga suara bass miliknya mengalun, "Aku akan pulang dengan angkutan umum," balasnya, lantas mulai kembali beranjak.
Baru satu langkah Javis beranjak, sebuah lengan sudah lebih dulu menarik tas miliknya. Membuat badannya berbalik arah.
"Tidak ada penolakan, ini perintah," ucap lelaki dewasa itu. Mendorong kedua pundak Javis menuju mobilnya.
Sungguh, Ednan tidak menghiraukan protesan pemuda itu. Bahkan Ednan sengaja untuk sedikit memaksa. Pasalnya, semua tidak akan berhasil jika hal ini tidak dilakukan. Dia sangat tahu betul bagaimana sifat keras kepala Javis, hasil warisan yang Nata turunkan pada pemuda itu. Astaga, kenapa harus sikap keras kepalanya yang menurun pada pemuda itu? Mengapa tidak kesabarannya?
Akhirnya Javis hanya bisa pasrah. Menatap keluar jendela saat Papanya mulai melajukan mobil mereka meninggalkan halaman sekolah. Dia bahkan tidak akan pernah menang untuk melawan lelaki itu.
Mereka berkendara dalam hening, sesekali Ednan mencuri pandang. Menatap pemuda di sebelahnya yang hanya diam dengan sebelah tangan menyangga pipinya. Tak bisa ditahan, senyum Ednan mengulum di bibir tipisnya.
Jika boleh dibilang, ini cukup menggelikan. Pasalnya setiap Ednan melihat Javis, dia seperti menaiki mesin waktu. Melihat bagaimana dirinya di masa remajanya dulu. Mereka benar-benar bak pinang di belah dua. Persis bahkan seperti tanpa celah.
"Sebelum ke tujuan, kita mengisi perut dulu. Apa kau ingin makan sesuatu?" Tanya Ednan, sesekali menoleh ke arah Javis yang masih pada posisinya.
"Terserah," jawab pemuda itu singkat.
Ednan terlihat bergumam sesaat, "Bagaimana kalau kita makan di restoran seafood?"
Seketika Javis menolehkan kepala setelah mendengar usulan Papanya. "Apa Papa ingin membunuhku?" Tanyanya tajam.
Dahi Ednan mengkerut, "Ah benar, kau alergi seafood. Maaf Papa lupa," sesal Ednan. Kembali dia berpikir sejenak, "Kalau begitu kita ke restoran pasta yang ada di dekat persimpangan. Kau begitu menyukai pasta di sana bukan?"
Pemuda itu tidak menjawab, dia hanya membenarkan posisinya kembali seperti semula. Menyangga sebelah pipi dengan pandangan lurus ke jalanan di luar.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka tiba di sebuah restoran pasta yang tidak terlalu besar. Namun terlihat begitu nyaman.
Setelah Ednan memarkirkan mobilnya, mereka lantas masuk ke dalam. Memilih kursi untuk dua orang yang ada di tengah ruangan. Segera mereka memesan pada pelayan, lalu keadaan kembali hening. Mereka hanya diam tanpa membuka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello The Pass ✔
Romance[C O M P L E T E] [SEQUEL OF BECAUSE OUR BABY] "Apa kabar, Ed?" Mungkinkah sapaan dari masa lalu bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga Ednan? [11/09/'18] [02/10/'19]