Bagian Dua

477 71 3
                                    

"Kagura bangun, sudah pagi bo-." Gintoki berhenti di kata-kata terakhirnya, dia tidak boleh berbicara kasar pada anak di bawah umur. Kagura menggeliat malas, terlalu pagi-terlalu dingin hingga Kagura enggan bergerak dari tempat tidurnya. Setelah sore kemarin, hujan kembali turun semalaman, kini masih menyisakan gerimis. Desember memang puncaknya hujan, hampir setiap hari selalu saja turun. "Kagura bangun." Gintoki memanggilnya sekali lagi, kali ini diikuti dengan gerakan tangannya yang menarik paksa kaki Kagura hingga anak itu jatuh dari tempat tidurnya.

"SAAAAAKIIIIIT BODOH!" Teriak Kagura kesal, "Kurasa tulang punggung dan tulang kakiku patah, kalau sudah seperti ini aku tidak perlu sekolah. Aku akan lanjut tidur Gin-san, tolong buat surat ijin untukku." Kagura melanjutkan tidurnya di lantai.

Gintoki menatapnya kesal. "Ah begitu... kalau begitu aku perlu memeriksa seberapa parah cederamu. Bagian mana dari tubuhmu yang perlu ku bedah, hah?!"

Kagura bergidik ngeri sambil mengintip Gin-san di balik selimutnya. Kakak laki-lakinya itu kini sudah memegang beberapa benda tajam. Kagura langsung bangkit berdiri. "Aku sembuh dan... akan ke toilet sekarang."

Gintoki membuang nafasnya dengan lelah sambil memandangi punggung Kagura yang meninggalkannya.

***

Kagura berlari keluar rumah dengan sedikit terburu-buru ketika mendengar pintu rumahnya diketuk. "Tunggu, Sougo. Aku dataaaaang." Teriak Kagura sambil terburu-buru memakai sepatunya. Rambutnya sedikit berantakan—karena kemalasannya "Kau terlalu pagi--bukan Sougo, siapa ini?"

"A ... Aku ... Ibuku mengundang kalian untuk sarapan di rumah kami." Kata laki-laki yang mengetuk pintu itu, pakaiannya rapi dan stylish. Gaya rambutnya terlalu keren-menurut Kagura-dia menatap Kagura dengan heran. Sementara Kagura memeriksanya dengan seksama, dia menyelidiki dari atas ke bawah tanpa merasa canggung sedikit pun.

"Siapa kau ini-yang terlalu rapi?" Tanya Kagura dengan nada tanpa prasangka.

"Dan dia ... terlalu berantakan." Gumam laki-laki itu dalam hati.

"Kagura, kenapa kau belum berangkat sekolah?" Gintoki keluar menghampiri Kagura dan menatap tamu di depan pintunya dengan sinis. "Pengemis?"

"BUKAN!" Teriak peng-laki-laki itu kesal. "Aku adalah penghuni baru rumah itu," Dia menunjuk rumah di depan mereka, "Perkenalkan, namaku Takasugi... aku kesini untuk mengundang kalian sarapan pagi di rumah kami, datanglah dengan segera. Permisi." Takasugi meninggalkan mereka berdua yang kemudian saling melempar pandangan.

"Dia tampak seperti pengemis.." Gumam Gintoki.

Dari mananya? "Ayo kita pergi Gin-san, aku lapar. Kita dapat makanan gratis."

"Ya. Karena jangan sampai kau terlambat ke sekolah"

***

Kagura dan Gintoki dengan malas menuju rumah tetangga barunya, dia melihat Sougo yang berjalan bersama ayah dan adik perempuannya (di sini Mitsuba umurnya lebih muda dari Sougo) menuju rumah yang sama yang akan dia tuju bersama Neneknya.

"Sougo!" Teriaknya sambil menyusul, Sougo menunggunya dan membiarkan ayahnya dan Mitsuba masuk duluan. "Kalian juga datang?"

"Apa maksudmu bocah nakal? Tentu saja, kan?" Jawab Gintoki dengan tampang malasnya.

Sougo membuang napasnya.

"Permisiiiii" Teriak Kagura di depan pintu yang terbuka.

Sougo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Suaramu kekencangan, kupikir mereka tidak tuli." Protes Sougo.

"Perm-"

PAK! "Sopanlah sedikit." Kata Gintoki, setelah dia memukul kepalanya Kagura. Dari dalam rumah seorang perempuan para baya keluar menyambut mereka sambil tersenyum.

"Selamat datang di rumah kami. Ayo silahkan masuk. Astaga, sampai repot membawa pisang segala." Katanya ramah, dia menerima pisang pemberiannya Sougo, mereka semua masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ruang makan. Di sana telah menunggu ayahnya Sougo, Mitsuba, serta seluruh anggota keluarga tetangga baru mereka. "Ayo silahkan duduk."

"Terimakasih, Bibi." Kata Sougo ramah, dia duduk dengan sopan di samping ayahnya. Sementara itu, perhatian Kagura tidak teralihkan dari gadis muda cantik yang sedang asyik bermain dengan handphone-nya tanpa mempedulikan tamu-tamunya yang datang.

"Duduk di dekat Bibi, nak." Kata perempuan itu ramah kepada Kagura. Kagura menurutinya dan kini dia menatap semua makanan yang tersaji di atas meja dengan tatapan rakusnya.

"Apa itu daging ayam?" Tanyanya polos.

"Ya." Jawab Takasugi ramah.

"Woe, jangan buat malu." Komentar Sougo, Kagura meliriknya sekilas.

"Saya mengundang semuanya kesini untuk tujuan bertutur sapa sekaligus untuk kita saling mengenal." Kata perempuan paru baya itu.

"Kami datang dari kota di luar Edo," Sambung suaminya--Sasaki, "Kami tinggal lama di kota lama kami sekitar dua belas tahun. Tapi sebenarnya kami asli dari Edo. Nama saha Sasaki dan ini istri."

Perempuan paru baya itu menunduk pelan sambil tersenyum.

"Yang satu ini putra sulung saya, Takasugi. Dia kelas tiga SMA sekarang." Lanjut Sasaki, memperkenalkan anggota keluarganya satu persatu. "Lalu yang ini putri bungsu saya, Nobume. Dia kelas dua SMA."

"Sama seperti aku dan Sougo." Kata Kagura bersemangat, "Sepertinya kau akan pindah sekolah ke sekolahku juga, kan?"

"Tidak. Aku tidak mungkin sekolah di tempat kumu ini." Kata Nobume dengan nada angkuh.

"Nobume memang suka asal bicara kalau sedang sakit. Dia sedikit panas hari ini, mungkin kelelahan karena perjalanan jauh." Kata ibunya mencairkan suasana. "Ayo silahkan dinikmati. Astaga, makanannya jadi dingin." dia mengambil sendok dan menyibukan dirinya, yang lainnya melakukan hal yang sama. "Ngomong-ngomong, kalian belum memperkenalkan diri kalian.."

"Sakata Gintoki. Rumahku di depan sana, dan bocah nakal di sampingku ini adalah Kagura. Salam kenal." Kata Gintoki dengan wajah datar.

"Kalau saya Kondo Isao, Saya adalah guru matematika di SMAnya Sougo dan Kagura. Ini anak saya Sougo dan Mitsuba. Mereka berdua bisa jadi teman yang baik untuk Takasugi dan Nobume."

"Hai." Sapa Takasugi kepada Sougo, mereka berdua saling melempar senyum dengan malu-malu. (Bukan sifatnya bangat ya >_<)

"Sepertinya hari-hari di sini akan menyenangkan." Komentar istrinya Sasaki.

"Maksud mama membosankan, bukan? Tidak ada jaringan internet, sial." Gerutu Nobume tanpa ekspresi. Dia melanjutkan makan dengan santai, seperti Kagura, dia melahap makanannya dengan lahap. 

Cahaya di Permukaan Laut (OkiKagu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang