Ah pelajaran matematika, pada jam terakhir sekolah. Dengan angin laut yang berhembus melewati ruang kelas, anak-anak yang tidak menyukai pelajaran ini—serta tidak ingin berpikir keras akan pemecahan masalahnya, sedang berusaha keras menahan kantuk. Jika di bolehkan, mereka ingin segera berbaring, menyusun meja dan kursi layaknya tempat tidur.
Tapi Sougo akhir-akhir ini menjadi sangat baik di dalam kelas. Dia berpikir keras, belajar dengan tekun dan melakukan aktivitas-aktivitas yang sebelumnya tidak terlalu dia sukai. Dia tetap dirinya, tapi hanya jadi lebih rajin. Orang-orang disekitarnya menyukai perubahan itu—tapi tetap saja mereka merasa aneh.
Dua telah berlalu sejak Kagura pergi, mereka kesepian—memang. Karena sesuatu yang biasanya selalu terisi tiba-tiba saja menjadi kosong, tapi mereka cepat terbiasa, seperti itulah manusia. Ada dan tanpa adanya Kagura, mereka tetap menjalani hari-harinya dengan biasa. Meskipun awalnya mereka sulit menerimanya, bersedih akannya, tapi hari-hari itu telah berlalu dengan baik. Mereka melewatinya.
Sougo dan Nobume? Mereka baik-baik saja. Meskipun komunikasi di antara mereka menjadi sedikit kurang lancar—karena Sougo lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri. Takasugi baik-baik saja, perasaannya kepada Kagura ternyata tidak begitu dalam—atau karena dia memang sudah dewasa, jadi merelakan seseorang cukup mudah untuknya. Masalahnya ada pada Yamazaki, karena dia terlalu sering berteriak-teriak seolah merasa dirinya penyair—meneriakan kegalaunnya. Sementara Gintoki? Dia hanya pura-pura kuat.
Hujan tiba-tiba turun, anak-anak yang di dalam kelas yang sedang menahan kantuknya terbangun. Mengabaikan Kondou yang sedang mengajar, mereka berlari mendekati jendela dan melihat keluar. Kondoupun ikut melihat keluar. Hujan memang sudah lama tidak turun, terakhir kali... sehari sebelum Nobume dan Takasugi pindah ke desa. Semuanya bersorak gembira, menikmati aroma tanah yang mencuat ke permukaan. Ini berkah, yang turun dari langit.
Tapi hujan ini, membuatnya menjadi semakin teringat—begitu amat jelas, sampai hatinya ingin menjerit, akan sesuatu yang baru saja menghilang. Sougo menatap kosong, rintihan air yang sedikit tertinggal di atap bangunan. Hujan berlalu begitu cepat, tapi perasaannya yang seperti ini, apa akan terus tertinggal?
Bel sekolah berbunyi, kelas berakhir. Tanpa mengatakan sesuatu apapun, Sougo meninggalkan kelas. Nobume menyusulnya dengan terburu-buru, tapi dia tidak mengatakan apapun. Banyak hal yang Nobume khawatirkan sejak Kagura pergi, tentang Sougo, tentangnya, dan tentang semua orang di sekitarnya. Dia menyadari banyak hal yang selama ini sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya, tapi dia tidak ingin mengutarakannya pada siapapun. Bagaimana jika kekhawatirannya benar adanya? Dia tidak mau hal itu terjadi, kali ini dia memutuskan untuk menjadi sangat egois.
Mereka kembali ke rumah. Sougo langsung ke kamarnya, membuka kembali buku pelajaran dan belajar. Tidak ingin istirahat sedikitpun, karena jika demikian... dia akan mulai memikirkan banyak hal.
Ketika malam tiba, Sougo masih mengerjakan tugas-tugasnya hingga Mitsuba menemuinya membawakan makanan untuknya. "Kakak tidak turun untuk makan malam lagi." Kata Mitsuba sedikit ketus.
"Maaf. Aku merepotkanmu terus." Jawab Sougo sambil tersenyum. Mitsuba meletakkan makanannya di atas meja. Dia menepikan semua buku-bukunya Sougo yang berserakan di atas meja, Sougo menatapnya dengan tatapan sedikit protes tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Aku tahu tugas kakak tidak sebanyak anak kuliahan. Jadi berhentilah menyibukkan diri."
"Aku hanya belajar."
"Tapi itu tidak terlalu baik."
"Maksudmu... belajar itu buruk?"
"Ti... tidak. Aku tidak mengatakan begitu. Maksudku... kelakuanmu akhir-akhir ini membuatku khawatir. Jika sangat sulit kakak harus mengatakannya. Kakak tidak sendiri, kami semua ada di sini." Kata Mitsuba sambil menunduk sedih.
"Aku baik-baik saja. Memangnya hal apa yang bisa membuatku kesulitan?" Tanya Sougo sambil tersenyum ke adiknya. Mitsuba hanya menatapnya dengan tatapan sendu dan kemudian membiarkan Sougo sendirian. Begitu Mitsuba meninggalkannya sendirian, Sougo bernapas dengan berat. Dia menatap kosong kearah jendela, memperhatikan horden yang bergoyang tertiup angin malam.
Terdiam.
Mendengar bunyi jarum jam yang berdetak.
Sunyi.
Jantungnya seperti sudah mati.
Kosong.
Kagura menghilang.
Kesepian.
Sougo kesepian.
Air matanya menetes—perlahan dan perlahan. Kemudian membanjiri kedua pipinya. Dia tidak tahan lagi, lalu kemudian menangis tanpa suara—sejadi-jadinya, menekuk kedua lututnya, berusaha menutup mulutnya agar tidak terdengar siapapun. Tapi malam menjadi saksi, betapa kacaunya dia tanpa Kagura disamping. Dia merindukannya. Sangat merindukannya.
* * *
Setiap kali ada jejak baru di tulisanku, ketika aku merasa bahwa pembacaku pertambah, semangatku untuk menulis mencuat lagi ke permukaan. Di tengah kesibukanku, kalian adalah semangatku untuk menulis. 😋😋
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya di Permukaan Laut (OkiKagu)
FanfictionSougo dan Kagura sangat dekat--sebagai teman dan tetangga. Zona nyaman mereka berdua kemudian diusik dengan kehadiran tetangga baru mereka, Nobume dan Takasugi. Tiba-tiba saja, Kagura seperti tersisih sebagai orang yang selalu menemani Sougo, digan...