17. Penerror

292 127 7
                                    

Sehari sebelum pentas seni, saat kebanyakan siswa sudah pulang sejak sejam lalu, semua panitia dan pengisi acara sibuk gladi bersih demi totalitas, Arland malah berada di sini: duduk bersandar pada rancangan tembok besi dengan satu kaki yang ditekuk, memeluk lutut, sambil menikmati semilir angin sore yang membelai lembut wajahnya. Cowok tampan berkarisma itu sedang menunggu Netta di lapangan basket meski waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ya, menunggu seorang Netta Aliska.

"Land!" seru Netta pada Arland yang mengajaknya ketemuan di sini. Netta berdiri di depan Arland-menghalangi semburat mentari yang mengenai tubuh cowok ini dengan napas tak teratur, efek lari tadi. "Sorry lama, latihan dramanya baru selesai tadi," katanya setelah duduk di samping Arland.

Untuk menanggapinya, Arland hanya berdehem. Ia lalu mengeluarkan air mineral dari dalam tas sekolahnya. Arland menyodorkannya pada Netta. "Minum, gue mau lo santai, gak tergesa-gesa kayak gini."

Senyum Netta langsung terbit di wajah cantiknya, tanpa pikir panjang ia langsung menerima air mineral pemberian Arland itu lalu meminumnya. Netta kemudian menatap Arland penuh tanda tanya. "BTW, lo ngapain ngajak gue ketemuan di sini?"

Mendengar pertanyaan Netta, Arland perlahan menegakkan tubuhnya dan mengubah posisi duduk. Ponsel yang berada di saku celananya lalu ia ambil. Kemudian memandang lurus-lurus mata Netta yang memakai softlens. Entah kenapa Arland menangkap gerik gugup yang mendadak Netta tunjukkan.

"Gue cuma mau tahu Ta, apa maksud lo ngelakuin ini ke Seilla?" tanya Arland tanpa basa-basi, memperlihatkan beberapa screenshot berisi rentetan pesan yang dikirim oleh nomor tidak dikenal ke Seilla. Kemarin saat pulang sekolah, Arland memang meminjam ponsel Seilla untuk menyelidiki hal ini.

Kening Netta mengerut samar. "Apa ini?"

"Baca aja," titah Arland kalem.

Netta mendengus. Merebut ponsel Arland lalu membaca apa yang cowok itu suruh baca. Lagi-lagi Netta dibuat mengernyit dengan isi pesan-pesan tersebut.

Eh, Seilla! Lo jangan kecakepan deh jadi adik kelas! Gak usah tebar pesona! Apalagi sama Arland, euh jijik gue lihatnya!

Gue udah sering ngingetin lo 'kan? Jauhi Arland! Itu kalo lo mau aman sekolah di sini!

Aduuuh! Nyadar diri dong! Cewek cupu kayak lo gak pantes buat Arland!

Awas lo kalo berani deket-deket sama Arland! Hidup lo gak bakal tenang!

"Maksud lo apa sih, Land? Gak ngerti gue," bingung Netta mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya. Dia benar-benar tidak mengerti.

Gak ngerti? Bola matanya Arland putar malas. "Lo yang ngirim chatt kayak gini ke Seilla 'kan?"

Mulut Netta terperangah. Ia menatap Arland tak percaya. "Hah?! Gue ngirim pesan ini ke Seilla?! Ya kali! Nomor tuh, bocah aja gue gak tahu!"

"Ngaku aja, Ta. Lo yang selalu nerror Seilla sampe bikin dia jauhi gue, ya 'kan?" cecar Arland agar Netta mau jujur.

Lidah Netta berdecak kasar. "Lo kayak gak tahu gue aja deh, Land! Mana mungkin gue ngelakuin hal kayak gitu!" nada bicara Netta jadi menegas.

"Kenapa gak mungkin?"

"Ya emang gak mungkin! Konyol tau gak?!"

Arland tersenyum sinis. "Konyol? Lo ngelabrak Seilla di toilet apa itu gak konyol?"

Napas Netta tercekat. Dia meremas tangannya dan memilih bangkit. "Terserah lo! Kalo lo cuma mau ngomongin hal gak penting dan nuduh gue seenak lo gini, mending gue pulang!"

Arland ikut bangkit, menantang Netta. "Kenapa? Lo takut? Apa malu setelah kedok lo kebongkar?"

"Stop!" gertak Netta. Rasanya seperti ada gempa dan badai secara bersamaan dalam dadanya. Netta mengatur napasnya. Mengalihkan tatapan ke arah lain dan menahan hujaman sakit karena Arland sudah menuduh dan mengatainya seenak jidat.

Gadis itu menghela berat sebelum akhirnya berucap, "Lo gak kayak Arland yang gue kenal. Arland yang gue kenal itu baik, gak mudah percaya kalo gak ada bukti."

"Gue emang gak suka sama Seilla, banget malah. Dan gue emang pernah ngelabrak dia, nyuruh dia buat jauhi lo. Tapi untuk hal ini, lo pikir gue senggak-ada-pekerjaannya sampe ngirim pesan-pesan gak guna itu? Selalu nerror Seilla? Hah, gila astaga," cibir Netta lalu tertawa hambar.

Arland terdiam sejenak mendengarkan penjelasan Netta barusan. Awalnya ia memang tidak yakin kalau Netta adalah dalang di balik penerror Seilla. Arland tahu, kalau Netta bukan tipe gadis seperti itu. Dia kalau tidak suka pasti akan langsung ngomong secara terang-terangan, tidak membuang-buang waktu dengan mengekspresikannya lewat pesan. Tapi kalau bukan Netta, lalu siapa pelakunya?

"Siapa tahu aja si Seilla itu yang ngada-ngada, cuma akal-akalan dia doang," kata Netta, tatapannya berubah nyalang dalam sekejap. "Terus dia malah nuduh gue yang ngelakuin itu semua! Cih! Muna banget tuh, bocah!"

"Seilla gak mungkin kayak gitu," sanggah Arland masih santai. "Kalaupun itu cuma akal-akalannya, ngapain dia capek-capek ngejauhin gue yang bikin dia tertekan sendiri? Lo gak usah drama deh, Ta."

Netta mendengus kesal. "Whatever! Yang pasti bukan gue kalo lo nyari pelakunya!" Ia lalu mengibaskan tangannya. "Udahlah, ngapain sih, lo bahas bocah itu mulu? Gak penting, Land!"

"Bagi gue penting."

"Penting?"

"Iya, karena kalo ada yang ngeganggu hidup dia, hidup gue juga ngerasa keganggu."

Bibir Netta tersenyum miring. "Kenapa sekarang lo lebih milih si Seilla daripada gue? Bukannya sejak dulu lo-"

"Dulu gue datang di saat yang gak tepat," potong Arland cepat. "Iya. Dan sekarang, lo juga datang di waktu yang gak tepat. Lo datang saat semuanya udah kelewat, Ta."

Gadis berlipstik merah muda itu mengatupkan bibirnya rapat. Napasnya tak beraturan menahan sesak. Netta menatap Arland dengan tatapan pelik didefinisikan.

Tanpa membuang waktu lagi, Arland meraih tasnya lalu berjalan dengan langkah santai, meninggalkan Netta yang terus memanggil namanya.

"Arlaaand! Pokoknya lo gak boleh sama Seilla! Titik!"

"Gue pasti bakal dapetin lo!"

"Karena kalo gue udah sayang sama seseorang, gue bakal ngelakuin apapun supaya orang itu jadi milik gue!"

"Arland Nuragaaa!"

Be Myself (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang