11.b

209 11 0
                                    

Makanya ke sini kalo mau tau ;)

Gadis itu pun langsung ke sana sendirian. Kalau saja Agnes belum pulang duluan, Seilla pasti sudah mengajak dia untuk menemui orang yang sekarang sedang menunggunya. Saat Seilla tiba di sana keadaan toilet sangat sepi, semua siswa memang rata-rata sudah pulang. Seilla pun masuk ke dalam toilet. Ia dikejutkan dengan kehadiran sosok Netta dan Gea.

Netta langsung menarik dan mendorong tubuh Seilla hingga punggung Seilla membentur kaca toilet. Seilla yang kesakitan meringis, sedangkan Netta dan Gea malah tersenyum sinis. Seilla tidak tahu apa maksud mereka memperlakukannya tidak baik seperti ini.

"Jauhi Arland."

Deg!

Netta berucap tajam dan langsung pada inti.

"Jauhi dia, atau lo berurusan sama gue!" hardik Netta memberi pilihan.

Mata Seilla sontak saja membulat. Dadanya terasa sesak! Seperti baru saja diinjak!

"Ma ... maksudnya apa, Kak?"

"Naif banget sih, lo!" Gea yang mengumpat.

Tersenyum setan, satu tangan Netta kini mengunci kedua pipi Seilla. "Arland milik gue, jadi lo harus jauhi dia. Paham?"

Kepala Seilla menggeleng lemas. Seilla hampir menangis detik ini juga, tapi Seilla berusaha menahannya sekuat tenaga. Tubuh Seilla bergetar hebat dan matanya terasa sangat panas. Posisi Netta sangat dekat dengannya ditambah tangan Netta dan kuku panjangnya yang menancap kuat di pipi Seilla.

"Lo bodoh banget ya? Ha ha, kasihan gue sama lo." Gea tertawa saksastik. Gadis bergincu merah itu melipat tangannya di bawah dada, menatap Seilla sinis.

Netta menatap Seilla tak kalah sinisnya. "Seilla, lo tahu?"

"Mana tahu dia, Ta! Haha."

"Iya ya? Nih, bocah kan bego banget." Netta menjeda setedik. "Seilla, gue kasih tahu sama lo ya. Arland, cowok yang lo sukai itu cuma jadiin lo sebagai pelarian. Tapi lo terlalu polos dan bodoh untuk menyadari hal itu."

Jleb. Jantung Seilla semakin tertohok sakit oleh ucapan Netta. Rasa sesak kini menyergap seluruh rongga dadanya hingga ia sangat sulit untuk bernapas. Seilla juga tidak bisa bersuara karena Netta masih saja mengunci mulutnya. Pipinya pun terasa perih dan mungkin sudah memerah akibat kuku panjang milik Netta.

Miris. Yang bisa Seilla lakukan saat ini hanyalah berdoa. Semoga ada orang yang menolongnya. Denada ataupun Arland.

Sekarang di mana mereka yang selalu hadir saat Seilla butuhkan? Biasanya Arland yang akan mengusir dua nenek lampir itu saat mereka mengganggu Seilla. Lalu Denada yang akan menegur mereka di belakang tanpa sepengetahuan Seilla, Seilla juga baru tahu kemarin saat Ica cerita padanya.

Melihat wajah menyebalkan Seilla, Netta kini mencampakkan wajah Seilla ke kanan hingga napas Seilla tersentak dan tak beraturan. Netta beralih menjambak kuat rambut Seilla yang dikuncir tinggi. Bahkan tadinya Netta ingin meludahi muka Seilla, namun niatnya ia urungkan.

Netta tersenyum mengejek. "Lagian lo gak pantes buat Arland! Lo sama Arland itu ibarat bumi dan langit, Seill! Arland itu ganteng, cool, keren, berkarisma. Sedangkan lo? Lo cuma upil sekolah yang jelek, cupu, bodoh, tapi gayanya selangit!"

Tidak! Seilla tidak mau mendengarkan omongan sampah yang keluar dari mulut Netta lagi. Tapi Seilla juga tidak bisa menutup telinganya rapat-rapat. Sambil memejamkan mata, Seilla hanya mampu membatin sedih.

Kak Arland, Denada, Agnes. Di mana kalian? Seilla mohon datang ke sini.

"Hah, Seilla ... Seilla," hela napas Netta lalu melepaskan jambakannya. "Dasar bocah!"

Sungguh, Seilla ingin menangis! Seilla ingin menjerit minta tolong! Seilla ingin pergi dari sini! Tapi sekali lagi, Seilla tidak bisa. Dia tidak bisa melakukan perlawanan apapun.

Mama ... papa ... tolong Seilla. Seilla takut.

"Lo tuh, sok paling cantik di sekolah ini, sok manis, sok berkuasa, sok ramah, sok paling berharga!"

"Padahal aslinya cuma gadis bego dan cupu yang pengen numpang terkenal dengan cara mendekati Arland!"

Ya Allah ... tolongin Seilla.

Kata-kata Netta sungguh menghujam relung hati Seilla yang paling dalam. Seilla merasakan sesak bercampur sakit di dadanya semakin meraja dan tak terkira. Gadis itu tertunduk lemas. Benar-benar nyeri.

"Seilla!"

Seseorang yang baru saja masuk ke toilet ini memanggil nama Seilla. Membuat Netta dan Gea berbalik serempak. Mereka kemudian berjalan meninggalkan Seilla untuk menghampiri orang tersebut.

"Keterlaluan kalian!"

Denada hampir saja berteriak di depan dua gadis setan ini.

"Bahkan kita bisa lebih keterlaluan." Netta mengangkat dagunya tinggi, melenggang pergi dengan angkuh dan sengaja menabrak bahu Denada.

"Sampai jumpa, Lawan!" Gea melambai ramah dan tertawa renyah diikuti tawa setan seorang Netta.

"BANGSAT!" umpat Denada pada mereka.

Perlahan tapi pasti, Denada mengatur napas dan emosinya sambil mendekat pada adiknya. Melihat Seilla sungguh miris, penampilannya sangat jauh dari kata baik. Seilla sedang terisak kecil, memandangnya dengan mata sembab, pipinya merah-merah seperti habis dicakar.

"Denada! Hiks ..." tangis Seilla langsung pecah di pelukan Denada. Ia tidak bisa membendung air matanya lagi yang sejak tadi ditahan-tahan.

Denada memejamkan matanya sejenak. Tangannya mengelus lembut punggung Seilla yang naik-turun. Bahu Seilla bahkan bergetar hebat. Denada juga merasakan bajunya basah oleh air mata kepedihan Seilla.

"Mereka ngapain lo?" tanya Denada lembut. Antara marah, sedih, kasihan, dan sakit hati, semuanya campur aduk jadi satu saat melihat adiknya disakiti oleh orang lain seperti ini.

Air mata Seilla semakin mengalir deras. Seilla masih memeluk Denada erat untuk menumpahkan semua kesedihannya. Dia kemudian menjawab pertanyaan Denada di sela-sela tangisnya.

"Hiks. Ada yang ngajak Seilla ketemuan di sini, dan ternyata itu Kak Netta dan Kak Gea."

Denada tersenyum kecut. Bahkan saat sudah diperlakukan semena-mena oleh Netta dan Gea, Seilla masih saja menggunakan embel-embel Kak pas menyebut nama mereka.

"Kak Netta, hiks. Dia dorong Seilla ke kaca sampe punggung Seilla sakiiit, dia kunci mulut Seilla pake kuku panjangnya sampe pipi Seilla perih. Dia juga jambak rambut Seilla."

"Rasanya sakit, Denada. Punggung Seilla, pipi Seilla, kepala Seilla, semuanya sakit."

"Tapi lebih sakit lagi hati Seilla, omongan Kak Netta dan Kak Gea bener-bener nusuk."

Mereka bener-bener udah keterlaluan! Gue bakal bikin perhitungan sama mereka!

Isakan Seilla masih terdengar. Denada menghela pelan. Ia kemudian menepuk bahu Seilla untuk menguatkan.

"Udah, lo jangan nangis lagi yah."

"Nanti, Denada. Seilla masih pengin nangis."

Senyum tercetak di bibir Denada. "Hey. Seilla yang gue kenal itu ceria, bukan cengeng. 'Kan?"

Kepala Seilla mengangguk pelan. Tangisnya pun berangsur reda. Seilla melepaskan pelukannya sambil mengusap sisa air mata. Gadis berkaca mata minus itu sudah terlihat lebih tenang sekarang.

"Makasih Denada," ucap Seilla menyusut ingusnya yang keluar. "Makasih Denada udah dateng ke sini dan tolongin Seilla."

Denada hanya tersenyum tipis lagi. Dan ... sedikit geli.

Be Myself (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang