Pukul 19.45 WIB, lapangan utama SMA Bakti Nusantara yang sangat luas kini tampak begitu ramai. Di sana terdapat panggung besar nan megah untuk acara pentas seni yang lima belas menit lagi akan dimulai. Jejeran bangku penonton berjumlah 2.000 mulai terisi semua. Lampu-lampu yang mengantung di atas maupun di pepohonan sudah dinyalakan sebagai penerangan, cahayanya berpendar ke segala penjuru arah, mengalahkan gemerlap bintang yang bertabur apik di atas langit malam.
Acara pentas seni di sekolah swasta yang sudah berdiri sejak dua belas tahun silam itu memang selalu diadakan secara besar-besaran. Sudah setiap tahunnya seperti ini. Semacam acara tahunan rutin. Seluruh siswa smabanus terlihat antusias dan sangat bersemangat. Mereka datang dengan membawa orangtua, teman, pacar, ataupun kerabat. Bahkan ada siswa sekolah lain serta alumni yang turut hadir meramaikan.
Yap, pokoknya tidak ada yang ingin melewatkan perhelatan akbar ini!
"Wouy, Land!"
Joni berseru sambil melambaikan tangannya. Cowok berjaket boomber merah maroon itu tersenyum semangat pada Arland. Ia bergegas menghampiri sahabatnya yang sedang berdiri di pelataran sekolah.
Senyum lebar Joni kini memudar dan ekspresinya berganti heran saat mendapati Arland celingukan. "Cari siapa, Land?"
Kepala Arland refleks menoleh ke samping. "Eh. Elo, Jon."
Bahu Joni mengedik. "Lo ke sini bareng siapa? Cewek?" tanya Joni lagi.
"Iya."
"Wah! Pasti Seilla ya!" seru Joni lalu terkekeh sendiri. "Iyalah, emang cewek mana lagi yang lagi deket sama lo kalau bukan si Seilla," kata dia sudah seperti orang eusleung saja. Nebak sendiri, jawab sendiri.
"HAI GEEESSS!" sapa Cayo ceria yang baru saja hadir di tengah-tengah mereka.
Dia mengenakan celana jeans selutut dan sweater warna cokelat krem. Tampak gelap. Apalagi dengan wajah dan badannya yang berkulit hitam.
Dagu Joni terangguk pada Arland. "Land, lo denger suara seseorang gak?"
"Iya, denger. Tapi orangnya mana ya?" tanya Arland berkompromi.
"Gak tahu, perasaan di sini gak ada siapa-siapa. Jadi merinding gue, Land." Joni mengusap bulu kuduknya yang seolah meremang saat merasakan kehadiran makhluk halus.
"Gue ada di sini, zaman!"
"Bhahaha!" Arland dan Joni menyemburkan tawa mereka.
"Sat kalian berdua!" umpat Cayo saat berhasil dikerjai dua sahabatnya.
"Ternyata elo, Yo yang ngomong? Pantes gak kelihatan. Abis dari ujung rambut sampe ujung kuku gelap semua."
Arland yang mendengar celotehan Joni jadi semakin tergelak. "Duh, Yo. Makanya. Itu muka pake pemutih dikit kek, biar rada kelihatan kalo malam."
"Nah, iya, Yo! Lo jangan mau kalah sama cewek zaman yang wajahnya putih mengkilap tapi lehernya gelap!"
"Eh, Jon! Emang gue cabe-cabean apa?!"
"Bukan lah! Mana ada cabe warnanya item dan gelap hahaha!" tawa Joni terdengar sangat bahagia.
"Haha. Udah, Jon." Arland melerai dengan sisa tawanya. "Jangan ngehina fisik, nanti lo bisa dituntut."
"Tenang, walaupun lo berdua terus ngehina gue, gue gak bakal nuntut kok. Gue 'kan gak jahat kayak lo-lo pada." Cowok yang sejak tadi diusili itu berucap sok mellow.
"Anjiir! Cayo ngambek!"
"Ah, baperan lo!" cibir Arland.
Detik berikutnya, Joni dengan tampak sok bijaknya menepuk bahu Cayo seolah menguatkan. "Sabar, Yo. Lo tau 'kan? Semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Lo emang item, tapi ...." Ia menggantung ucapannya.
"Tapi apa? Gue emang item, tapi apa?" cecar Cayo dengan ekspresi menahan kesal.
"Gak putih. Hahaha!"
🌿🌿🌿
Gadis berkuncir satu tinggi itu mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri. Penglihatan di balik kacamata bulatnya ia pertajam. Namun tetap, dia tidak menemukan cowok yang sepuluh menit lalu dicarinya.
Kak Arland mana sih? batin Seilla berdecak pelan.
"Seilla, ayok duduk di sana." Mama menggandeng tangan anak gadisnya dan menunjuk sebuah tempat duduk yang kosong setelah berkeliling di sekolah mewah ini.
"Um ... Seilla duduknya nanti aja, Ma."
"Loh. Kenapa, Sayang? Acaranya sebentar lagi mau mulai."
Bibir Seilla merengut tipis. Seilla mengembungkan pipinya. Masih mencari sosok cowok yang katanya menunggu dia di depan sekolah padahal nyatanya tidak ada.
"Seilla cari siapa?" Papa Seilla akhirnya bertanya saat melihat tingkah aneh putri kesayangannya.
"Temen, Pa." Seilla hanya menjawab seadanya.
"Temen apa pacar?" goda mama Seilla yang membuat pipi Seilla bersemu merah. "Inget ya, kamu gak boleh pacar-pacaran." Beliau melanjutkan.
Seilla menghela pelan, "Iya, Ma."
"Kalo gitu, Papa sama Mama ke sana duluan ya?"
Mata Seilla berbinar. Seilla tahu apa maksud papanya. "Beneran?"
"Iyah."
"Tapi, Pa. Seilla-"
Papa langsung memotong sanggahan mama. "Biarin, Ma. Mungkin Seilla ada keperluan sama temennya. Kita ke sana aja yuk," ajak papa menggandeng tangan mama.
"Ya, udah. Jangan jauh-jauh, Sayang." Mama cuma mampu berpesan dan menghela berat sebelum meninggalkan Seilla.
Kepala Seilla mengangguk dua kali. "Siap, Ma!"
Tungkai kaki Seilla kini melangkah perlahan. Embusan angin malam terasa dingin di permukaan kulit putih mulusnya. Seilla kembali menyusuri tempat ini untuk ke dua kalinya. Ia menarik napas pelan, menatap layar ponselnya yang tidak menunjukkan notif apapun.
Kak Arland: Gue tunggu di pelataran sekolah.
"Boong," gerutu Seilla sambil merengut pas melihat pesan terakhir dari Arland.
Seilla meremas ponselnya lalu memasukkan benda persegi panjang itu pada slim bag kecil yang menyampir di bahu. Seilla sudah berdiri di sana agak lama. Dan lagi-lagi tidak menemukan Arland.
Ke mana cowok itu?
Kacamatanya Seilla lepas dan dipegang tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya memijit batang hidung yang terasa pegal. Seilla memejamkan matanya sejenak.
"Ah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Myself (Complete)
Teen FictionComplete | Part masih lengkap | 📌Follow dulu sebelum baca Cantik, imut, dan manis: orang-orang selalu memujinya seperti itu. Namun, saat masa SMA, Seilla memutuskan untuk terlihat seperti gadis cupu karena kejadian menyakitkan di masa lalu. Seilla...