PART 7

402 114 0
                                    

7. Sederet Angka

🌸🌸🌸

Pagi yang cerah untuk menyambut hari. Mentari tampak menggantung kokoh di atas langit. Cahaya yang menyehatkannya terasa hangat di kulit putih gadis manis ini.

Gadis itu sangat bersyukur sebab bisa melihat matahari pagi lagi. Tandanya, Tuhan masih memberi dia kesempatan untuk menjalani hidup. Semilir angin kaya oksigen yang sekarang ia hirup pun semakin membuatnya mensyukuri nikmat dari Sang Ilahi yang begitu banyak dan tiada henti.

Sambil tersenyum setelah mengucapkan sampai jumpa, Seilla melambaikan tangannya pada kakak kandung dia: Denada. Seilla kemudian berlari kecil menuju kelasnya hingga kunciran rambut panjangnya meliuk indah ke kanan dan kiri. Tingkah riangnya membuat dia menjadi pusat perhatian cowok sekitar.

Seilla terus berlari kecil seperti bocah yang kesenangan saat dikasih permen gratis. Tak lupa, Seilla juga selalu tersenyum pada siapa saja yang menyapanya. Baru saat seseorang memanggil namanya, gerakan kaki Seilla berhenti.

Kepala Seilla refleks menoleh ke samping. Seilla sedikit terkejut karena cowok yang memanggilnya barusan adalah Kak Arland. Apalagi, Kak Arland sudah berada tepat di sampingnya, sedang memamerkan paling senyum manis yang membuat Seilla ingin meleleh detik ini juga.

"Selamat pagi, Adik Kelas Termanis."

Seilla terkejut bukan main. Jantungnya berdegup luar biasa. Pagi-pagi Seilla sudah dibuat salah tingkah plus lumer karena disapa dan dipanggil 'Adik Kelas Termanis' oleh Kak Arland.

"Selamat pagi juga Kak Arland," balas Seilla tersenyum, walau sedikit gugup.

Entah kenapa, Seilla selalu merasakan jantungnya berdetak kencang setiap kali bertemu dan bersitatap dengan seorang Arland. Kehadiran Arland yang selalu tak terduga bagi Seilla bikin Seilla agak terkejut. Ditambah sorot mata Arland yang selalu memandang Seilla hangat, membuat Seilla tergugup sekaligus nyaman.

"Kak Arland aja nih? Gak Kakak Kelas Ganteng gitu? Atau Kakak Kelas Tersayang mungkin?"

Mata Seilla mengerjap saat Arland bertanya menggoda seperti itu. Ia menunduk ke bawah. Mengulum senyum manisnya yang tidak bisa ditahan. Sumpah, Seilla malu kala Arland sampai melihat pipinya yang sudah sangat merah!

Tungkai kaki Seilla melangkah kembali, diikuti oleh Arland yang tidak menggendong tas seperti dirinya. Seilla berusaha menetralkan degup jantungnya yang kayak ditabuh cepat, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya.

"Kak Arland kok, nggak bawa tas?"

"Udah gue taro di kelas."

"Ooh. Terus kenapa Kak Arland ngikutin Seilla?" Seilla mengutarakan isi pikirannya.

"Gue ..." jawab Arland terlihat salah tingkah. "Mau ke toilet. Ya! Ke toilet."

"Toilet yang di seberang kelas Kak Arland juga ada."

Ah, Seilla kenapa berucap jujur nan polos seperti itu? Arland jadi mengusap belakang tengkuknya sendiri. Dia berusaha mencari alasan lain yang logis.

"Toilet yang di situ bau."

Seilla terkekeh ringan mendengarnya. "Bukannya semua toilet bau ya, Kak?"

Cowok ganteng berpenampilan rapi itu hanya tersenyum simpul sebagai bentuk menanggapi. Bingung juga harus berkata seperti apa. Arland memilih untuk memandang Seilla lekat.

Gadis itu sangat polos; baik pikiran maupun wajahnya, jujur, kikuk, dan selalu gugup saat bertemu dengan Arland. Seilla juga gadis yang periang, murah senyum, serta enak diajak ngobrol. Itu penilaian Arland terhadap Seilla setelah bertemu beberapa kali.

Lagi, Seilla itu sangat cantik dan sederhana. Ya, Seilla selalu terlihat cantik, meski tanpa make up dan aksesoris mewah. Kacamata minus yang bertengger manis di hidung bangirnya juga bikin dia terlihat seperti gadis cerdas. Arland tidak berkedip sedikit pun saat memandang Seilla, tidak mau melewatkan ciptaan Tuhan yang indah ini.

Sungguh, Arland jadi ingin mengenal Seilla lebih jauh lagi. Ya, Arland menyukai Seilla. Entah sejak melihat fotonya di HP Joni atau sejak pertama melihat gadis itu pingsan di tengah lapangan.

Mereka berbelok ke koridor sebelah kiri. Berjalan senada di lorong panjang ini. Sebenarnya Seilla heran, kenapa Arland terus mengikutinya. Mungkin cowok itu mau ke toilet di ujung koridor sana, bukankah dia mengatakan ingin ke toilet tadi?

"Seill, gue boleh minta nomor lo?"

Langkah Seilla terhenti di depan kelasnya, kelas X IPA-3. Dahinya mengerut samar. "Nomor apa Kak?"

"Nomor HP, Seill. Gak mungkin nomor sedot WC 'kan?"

Candaan lucu Arland membuat Seilla tersenyum hingga matanya menyipit. "Oh, nomor HP. Kirain nomor apa."

"Nomor bra?" tebak Arland error.

Kening Seilla mengerut. "Ini Kak Arland mau minta nomor HP apa nomor bra Seilla?"

Mata Arland melotot. Pengen ketawa juga mendengar pertanyaan awkward gadis manis ini. Ia mengusap tengkuknya lalu menyengir, "He he, becanda, Seill. Ya gue mau minta nomor HP lah."

"Hm …." Gadis berpipi mulus itu berpikir sejenak.

"Boleh Kak, asalkan Kak Arland jangan nyebarin nomor HP Seilla ke cowok yang lain," pintanya sebagai syarat.

Selama Seilla bersekolah di sini, banyak cowok yang meminta nomor HP Seilla namun tidak pernah Seilla bagi. Arland adalah orang ke sekian yang meminta nomor HP Seilla dan orang pertama yang Seilla kasih. Seilla juga tidak tahu kenapa dia mau memberi nomor ponselnya pada Arland.

"Siap!" Arland tersenyum lebar, terlihat sangat manis. "Bahkan saat cowok lain minta nomor HP lo ke gue, gue gak bakal kasih sampe kapanpun, Seill."

Sementara Seilla terkekeh, Arland pun langsung merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Namun, tidak ada. Arland berganti meraba saku bajunya, tapi tetap tidak ada. Cowok itu mendengus, mengingat-ngingat di mana ponselnya.

Sial! HP gue dipinjem Joni buat main ML lagi. Arland mengumpat dalam hati.

"Kenapa, Kak?"

"Ah, ada pulpen gak?" tanya Arland mengerjap. Sangat berharap Seilla masih mau membagi nomor limitednya.

Walau heran, Seilla mengangguk. Seilla mengambil pulpennya di dalam tas lalu menyodorkannya pada Kak Arland. Namun bukannya menerima, Kak Arland malah …

Be Myself (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang