23.b [ End ]

334 12 0
                                    

"Kenapa Kakak tega giniin Seilla? Seilla bener-bener gak nyangka, Kakak peralat Seilla biar Kakak bisa sama Kak Netta lagi. Apa Seilla cuma bonekanya Kak Arland? Gak, Seilla bukan boneka, yang bisa dimainin sesuka hati terus ditinggal pergi. Seilla bukan boneka mainan, Kak," jelas Seilla meluapkan rasa sesak hatinya.

Rahang Arland mengeras. Ia mencoba menahan gelombang pasang dalam dadanya. Menyurutkan emosi saat mendengar semua ucapan Seilla yang hanya berdasar dari dugaan. Ia tidak akan bicara sebelum Seilla selesai.

"Seilla baru tahu dan baru sadar. Kakak deketin Seilla karena Kak Netta tolak cinta Kak Arland, dan setelah Kak Netta cinta sama Kak Arland, Kakak tinggalin Seilla, Kakak kembali lagi sama Kak Netta. Hebat ya, habis manis sepah dibuang. Seilla gak ngerti Kakak menganggap Seilla sebodoh apa."

"Astaga, Seilla. Kenapa lo bisa berpikiran kayak gitu sih? Gue sama sekali gak memperalat lo, jadiin lo boneka gue, atau semacamnya. Lo cuma salah paham." Arland memegang kedua bahu Seilla, meneliti setiap gerik mata gadis itu. "Tentang foto itu, Netta yang tiba-tiba cium gue saat gue lagi nungguin lo, dan ekspresi gue yang seneng, itu karena gue lagi mikirin lo."

Seilla menepis tangan Arland dan menyela penjelasan cowok itu, "Tapi Kak Arland masih cinta sama Kak Netta sampe sekarang, bener 'kan?"

Arland terdiam.

Diamnya Arland membuat Seilla tersenyum. Miris. Sakit. Seilla menatap ke arah lain. "Dari awal, Seilla baru sadar sekarang. Kalo tatapan Kak Arland ke Kak Netta itu beda, kayak ada sesuatu. Dan ternyata benar."

"Benar apa?"

Seilla tertunduk sedih. "Kak Arland cinta sama Kak Netta. Buktinya Kak Arland gak bisa jawab pertanyaan Seilla tadi."

"Itu dulu, Seill. Sebelum lo datang."

Sorot mata Seilla menatap Arland tajam. "Nyatanya Kak Arland masih ada rasa sama Kak Netta sampe sekarang!"

"Gue harus jelasin apa supaya lo ngerti kalo gue cuma cinta sama lo?" Arland bertanya kalap. Meski hati kecilnya mengatakan kalau ia memang masih memiliki rasa terhadap Netta. Pecundang, memang.

"Kak Arland gak usah jelasin apa-apa, semuanya udah jelas. Lagipula ... Seilla bukan pacarnya Kak Arland, Seilla bukan siapa-siapanya Kak Arland. Bahkan untuk cemburu aja Seilla gak berhak. Kak Arland bukan milik Seilla, cinta Kak Arland udah dimiliki Kak Netta. Hati Kak Arland bukan milik Seilla."

Perlahan, Arland meraih tangan Seilla. "Seill, Netta mungkin sekarang cinta sama gue, tapi gue udah gak cinta sama dia, gue cuma cinta sama lo. Dan kalaupun gue masih ada rasa sama Netta, rasa gue jauh lebih besar ke lo."

"Apa Seilla bisa percaya?"

"Apa semua hal yang udah gue lakukan selama ini masih belum bisa bikin lo percaya kalo gue cinta sama lo?"

Giliran Seilla yang terdiam.

"Kalo lo mau, sekarang kita udah pacaran. Tapi lo gak mau 'kan meskipun lo cinta sama gue? Lo gak boleh pacaran sama mama lo. Gue ngertiin itu."

"Seilla capek, Kak. Bener-bener capek. Seilla kesiksa sendiri setiap kali lihat Kak Arland sama Kak Netta berduaan. Seilla capek kalo harus kayak gini terus." Gadis manis itu melepas genggaman Arland. Ia berjalan beberapa langkah lalu duduk di salah satu kursi lestoran. Seilla menatap Arland yang kini berada di sampingnya.

"Terus mau lo apa?" tanya Arland final.

"Seilla pengin kita biasa aja. Sebatas kenal nama, sebatas adik kelas sama kakak kelas. Bener-bener gak ada apa-apa. Jadi kalo Kak Arland deket sama siapa aja juga Seilla gak pa-pa, karena Seilla emang bukan siapa-siapanya Kak Arland."

Arland menghela berat. "Oke kalo itu mau lo, gue terima."

Seilla merasakan dadanya sesak saat mendengar persetujuan Arland. Kenapa dengan dirinya? Bukankah ini yang dia inginkan? Ayolah, kenapa rasanya bisa sesakit ini?

"Jadi kalo gue jalan berdua sama Netta atau cewek lain, lo bakal baik-baik aja 'kan? Lo gak akan cemburu. Lo gak akan sedih. Lo gak akan sakit hati. Lo gak akan nangis."

Mata Seilla memanas. Ia menunduk. Meremas bingkisan novelnya untuk mencari kekuatan. Sepertinya mulai sekarang ia harus menyiapkan mental dan hati kalau hal itu terjadi.

"I ... iya. Terserah Kak Arland, Seilla gak peduli. Seilla gak mau berharap lebih sama Kak Arland lagi. Seilla gak mau berharap lebih sama manusia, karena itu cuma menyakitkan dan mengecewakan. Seilla gak mau memprioritaskan sesuatu yang memang gak harus diprioritaskan."

Dengan berusaha tegar, ia melihat ekspresi Arland. "Terakhir, Seilla boleh minta sesuatu?"

"Apa?"

"Kak Arland gak usah nge-chatt dan telepon Seilla lagi, gak usah ngajak Seilla jalan lagi. Pokoknya gak usah deketin Seilla lagi."

"Ada lagi?"

"Um ... Kak Arland jangan beperin Seilla lagi, Kak Arland jangan bikin Seilla GR lagi, Kak Arland jangan kasih Seilla harapan lagi. Gak boleh ganggu-ganggu Seilla lagi, gak boleh jahili Seilla lagi, gak boleh godain Seilla lagi, dan gak boleh gombalin Seilla lagi."

Arland tersenyum. Memandang Seilla begitu gemas. Ia sangat merindukan sosok Seilla yang polos dan lucu seperti ini.

"Seilla pengin fokus sekolah dan ngejar cita-cita Seilla, Kak.Gimana? Kak Arland bisa penuhi keinginan Seilla 'kan?"

"Asal lo jangan jauhi gue. Lo udah janji, dan janji gak boleh dingkari."

"Seilla gak akan jauhi Kak Arland, Seilla akan biasa aja." Detik berikutnya, Seilla bangkit. "Um ... terima kasih sudah bayarin novel Seilla tadi. Seilla duluan, Kak. Permisi," pamitnya sopan pada si kakak kelas, lalu pergi menghampiri Denada yang berada tak jauh darinya.

Arland meremas rambut berjambulnya. Ia menghela berat. Rasanya benar-benar tak bersemangat. Seperti ada yang hilang dan sirna.

Dan yah, mulai saat ini sepertinya Arland harus terbiasa. Selain terbiasa tanpa kehadiran papa dan mama, sekarang ia juga harus terbiasa tanpa sosok Seilla dalam hidupnya.

Cowok itu tersenyum miring. Ternyata dia tidak pernah benar-benar memiliki Seilla. Tapi ... bukankah cinta tidak harus memiliki?

TAMAT

***

Untuk yang sudah mengikuti kisah ini dari awal ataupun pembaca baru, terima kasih(:

Be Myself (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang