Jika hal yang paling ditakutkan Kelana adalah membuka diri, Raka juga mempunyai satu. Hal yang dipikirnya sangat tidak masuk akal untuk dijadikan sebuah ketakutan, tapi malah itulah ketakutan terbesarnya. Raka takut menjadi orang yang tidak berguna bagi orang lain, tidak bisa melakukan apapun saat orang lain membutuhkan, itu ketakutannya.Itu alasan Raka selalu turut ambil andil dalam setiap demonstrasi mahasiswa, juga alasannya masuk BEM dan mencalonkan diri sebagai ketua. Raka ingin sedikit saja berpengaruh bagi orang banyak, atau bahkan untuk beberapa orang saja tidak apa-apa. Setidaknya Raka bisa berguna.
Setidaknya Raka tidak hanya bisa melihat raut kecewa orang-orang karena ulahnya.
Setidaknya Raka tidak hanya bisa melihat tatapan merendahkan orang-orang,
seperti beberapa tahun ke belakang.
Raka kembali melirik gadis yang berada sejauh tiga meter dari tempat duduknya. Gadis itu menangkup kedua lutut untuk menenggelamkan wajah sedalam-dalamnya. Isakan kembali keluar dari bibirnya. Sudah kurang lebih 15 menit keadaannya jadi seperti ini.
Seorang gadis menangis, bersama Raka dengan tatapan kosong dan otak bodohnya yang tak mengerti harus berbuat apa. Raka sangat tak berguna berada disini. Sangat. Tapi jika dia pergi dan meninggalkan gadis ini sendirian, itu malah akan membuat sial!
"Na..." sahut Raka pelan. Dia benar-benar berhati-hati bahkan saat memanggil nama gadis itu.
Yang dipanggil tak kunjung menjawab, padahal ini sudah lima kali sejak pertama Raka memanggil namanya. Hanya isakan yang terdengar dari gadis itu, tidak ada yang lain. Ah, tidak, bukan hanya isakan, tapi tangisan yang cukup keras.
Kelana meraung, menjerit sekencang-kencangnya. Sebuah keputusan bagus. Bagi Raka, mengeluarkan emosi disaat seperti ini memang hal yang harus dilakukan. Apalagi bagi seorang Kelana Ataletha Diaphenia, yang terlalu sering menelan mentah-mentah bebannya sendirian.
"Na, ini udah malem, saya—"
"Alfa.. m-mau pergi, ya?"
Raka sedikit terperanjat, gadis itu menjawabnya. Suaranya bergetar, sama sekali tak menunjukkan dirinya baik-baik saja. Kalimat yang diucapkannya pun terputus-putus. Juga, ada apa dengan pertanyaan itu?
"Alfa.. mau pergi juga.. ninggalin La.. Lana sendirian?"
Lelaki itu menggeleng pelan, sama sekali tidak mengerti akan apa yang si gadis katakan. Omong kosong apa, sih, itu? Tentu saja Raka tidak akan meninggalkan Kelana, sekarang gadis itu sudah menjadi tanggung jawabnya, bukan? Dia sendiri sudah berjanji pada Isar akan hal ini. Lagipula, sekarang sudah malam, tidak ada siapa-siapa disini selain mereka berdua. Meninggalkan Lana—bukan sesuatu yang bagus.
"Semua orang—semua orang ninggalin Lana.. semuanya ninggalin Lana karena beban yang Lana bagi ke mereka, Fa.."
"J-jangan.. pe-per.. gi.."
🍪🍪🍪🍪🍪
Kelana memainkan ponselnya asal. Di bawah langit gelap, gadis dengan surai kecoklatan itu masih setia berdiri seorang diri. Isar menyuruhnya menunggu, katanya dia tidak akan membiarkan Lana pulang sendiri. Tapi ntah sudah berapa menit sejak pertama dirinya menginjakkan kaki disini, Lana tak kunjung mendapati batang hidung sepupunya.
Isar kemana, sih?
Ah ya, mengenai Adi—Lana sudah menentukan keputusannya. Lana akan menutup buku kenangan antara mereka berdua, dan pergi dari lelaki itu tanpa harus berbicara atau sekedar mendengarkan apapun. Mimpi hanya sekedar mimpi. Hanya bunga tidur yang tak akan berpengaruh sedikit pun pada hidupnya, ya, Lana harus percaya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brainwave
FanfictionKelana pikir senyuman lebarnya akan menyembuhkan. Tekadnya untuk tetap giat belajar, membangun koneksi baik dengan banyak orang, selalu bertingkah ceria.. Kelana pikir itu semua cukup untuk memperbaiki kerapuhan di dirinya. Menambal sebuah bidang ya...