Kaisar menghisap batang rokoknya, mengepulkan asap-asap yang berterbangan di teras depan kamarnya dan menghilang dalam sekejap. Dilihatnya batang pendek itu, ukurannya sudah 3 cm. Sudah tidak dapat dihisap. Membuat Isar langsung menekannya di dalam asbak, mematikan api sebelum membuangnya bersama puntung-puntung yang sudah habis ia hisap sejak tadi.
Sudah sejak hari dimana ia memutuskan melanjutkan studi ke luar negerinya Isar berhubungan lagi dengan rokok. Tapi sepertinya tadi malam adalah puncaknya. Tadi malam Isar menghabiskan waktunya ditemani oleh benda berbentuk tabung kecil ini. Dua kotak telah ia habiskan, dan kotak di siang hari ini adalah kotak ketiganya.
Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu Isar memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi si batang nikotin itu. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih menghargai kesehatannya. Ia telah berjanji pada mamanya dan juga Aya untuk berhenti merusak tubuhnya dengan rokok. Isar juga telah berjanji pada Lana untuk berhenti 100% dari rokok, karena Lana bilang ia tidak nyaman dengan asapnya. Isar telah berjanji pada dirinya sendiri, juga pada tiga perempuan terpenting dalam hidupnya.
Tapi untuk beberapa alasan, akhirnya Isar melanggar janjinya.
Isar pikir tak apa memilih rokok sebagai teman pelariannya saat ini, asalkan orang-orang yang telah ia beri janji palsu itu tak melihat. Meskipun tidak semuanya.
Isar mungkin lupa bahwa dirinya juga memberi janji-janji itu pada dirinya sendiri. Bukankah seharusnya ia malu kepada Kaisar yang telah ia beri janji palsu?
Kembali diraihnya kotak berwarna biru yang masih berisikan beberapa batang rokok, berniat untuk membakar satu batang lagi untuk mencapai tujuannya yang bahkan belum tercapai setelah hampir tiga kotak berisi rokok dibakarnya. Isar ingin berlari, melenyapkan pikiran-pikiran aneh yang sudah membuat kepalanya tak ayal seperti bom—tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Isar pikir, semua beban di kepalanya akan ikut terbang terbawa oleh kepulan asap, dan menghilang tanpa jejak dalam hitungan detik—layaknya asap rokok yang dihembuskan oleh mulutnya. Tapi nihil. Alih-alih hilang, beban itu malah semakin memenuhi otaknya. Ditambah beban baru yang dihasilkan rasa bersalahnya karena kembali merokok.
Namun bukannya segera berhenti, lelaki itu malah mau melanjutkan kegiatannya, menghabiskan dua puntung rokok di kotak terakhir yang ia miliki. Setelah ini tidak tau, deh, apa ia akan membeli satu kotak baru, atau berhenti mengonsumsinya.
"Katanya udah berhenti ngerokok, Sar?"
Isar melirik sebentar ke arah sumber suara. Itu sahabatnya—Raka. "tolerir gue kali ini ya, Ka, jangan kasih tau Aya." Pinta Isar pada Raka yang sedang berjalan menghampirinya. Lelaki itu mengangguk singkat dan langsung mengambil posisi untuk duduk di lantai tempat Isar juga duduk, dengan secangkir kopi dan sebuah asbak penuh puntung rokok bekas di antara mereka.
"Ngopi gak, Ka?"
Raka hanya menggeleng. "Skripsi emang bikin orang seputus asa ini ya, Sar? Kamu kelihatan agak.. um.. menyedihkan." tanyanya polos. Pertanyaan dan pernyataan yang dituturkan Raka tadi bukan tanpa alasan. Selain merokok, Isar benar-benar terlihat lusuh. Tubuhnya lesu, kantung matanya mengendur. Isar yakin, Raka pasti bisa melihat jika Isar tidak tidur semalaman.
"Ya.. gitu. Padahal gue tinggal nunggu sidang, tapi gak tau lah, Ka. Stress!"
"Jadi beneran cuma karena itu kamu ngerokok lagi? Wah, gila!"
Isar hanya menanggapi dengan anggukkan kepala samar.
Ia berbohong. Alasannya seperti ini bukan hanya karena tugas akhir yang bahkan sudah terselesaikan dengan lancar. Juga bukan karena memikirkan sidang yang tanggalnya saja belum ditentukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brainwave
FanfictionKelana pikir senyuman lebarnya akan menyembuhkan. Tekadnya untuk tetap giat belajar, membangun koneksi baik dengan banyak orang, selalu bertingkah ceria.. Kelana pikir itu semua cukup untuk memperbaiki kerapuhan di dirinya. Menambal sebuah bidang ya...