Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk berduka, begitu pula aku.
— Kelana Ataletha Diaphenia
Orang datang, lalu pergi.
Sambil membereskan piring-piring bekas makanan yang tersebar di seluruh penjuru rumah, mata Lana tak lepas dari orang-orang yang baru saja beranjak dari sini. Dari rumah yang sudah seminggu ini berduka, karena ditinggalkan oleh orang yang sangat mereka cintai.
Beberapa jam lalu, orang-orang baik itu—mereka sengaja datang ke rumah ini untuk sama-sama mendoakan Kaisar. Membuat Lana tersenyum sekali lagi, senang, terharu, rindu.. semuanya bercampur menjadi satu, membuat sesak dadanya.
Sar, walaupun lo pergi dan gak balik lagi.. disini masih banyak yang sayang sama lo. Batinnya dalam hati.
Sudah 10 hari setelah kejadian naas yang menimpa pesawat yang Isar naiki, sudah 7 hari setelah keluarga besar Isar memutuskan untuk menggelar pengajian—menandakan mereka telah ikhlas dengan kenyataan Isar telah Tuhan panggil terlebih dahulu.
Tidak semua orang rela, tentu saja, siapa yang akan rela jika orang tersayang mereka pergi dengan cara seperti ini? Jasadnya bahkan tak dapat mereka lihat untuk terakhir kali. Ia telah pergi selama-lamanya.
"Teh Lana?"
Lana menoleh ke arah suara seorang gadis yang memanggilnya lirih. Gadis itu masih dengan mata sembabnya, sisa-sisa tangisan sepanjang hari.
"Kenapa, Ra?"
"Teh Lana hari ini masih nginep, kan?"
Lana mengangguk mengiyakan. Dirinya akan menginap semalam lagi, malam ini adalah yang terakhir.
Sudah sejak kabar buruk itu menghantam kewarasan keluarga besarnya, Lana memilih untuk tinggal di rumah keluarga Isar. Meskipun jarak tempuh ke kampusnya cukup jauh, tapi Lana memutuskan untuk tinggal disini dulu. Selain untuk membantu Wa Kalya menyiapkan kebutuhan untuk pengajian selama seminggu, Lana juga merasa harus selalu ada di samping Kaira.
Gadis itu.. Lana sudah berjanji pada Isar untuk selalu menjaga Kaira, adiknya—sekaligus adik sepupu Lana yang juga telah ia anggap sebagai adik kandungnya.
"Besok Teh Lana ada kelas, gak?"
Lana kembali mengangguk. "Ada jam 1 doang sih.. ada apa, Ra?"
"Teteh mau anter Ira ke kost Aa, gak? Ira pengen beberes." Tanya gadis itu lagi yang langsung kembali di jawab anggukan oleh Lana. "Besok Ira pulang jam 3an, kita ketemu di sana aja, ya Teh?"
"Gak Teteh jemput ke sekolah aja?"
Kaira menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. "Gak usah, dari kampus Teteh kan deket tuh ke kost-nya Aa.. kalo ke sekolah Ira dulu mah jauh lagi, muter-muter."
"Lagian Teteh kan gak bawa kendaraan!" Lanjutnya membuat Lana terkekeh dan langsung mengusak rambut gadis itu. Sudah beberapa hari terhitung semenjak senyuman Kaira hilang dari wajahnya, Lana bersyukur bisa melihatnya hari ini.
"Oh iya, Teh Lana tidur di kamar Aa lagi malem ini?"
Lana mengangguk semangat. "Emangnya selama berhari-hari ini ada kamar yang aku tempatin selain kamarnya Isar?" Tanyanya sambil menyipitkan mata, tertawa renyah.
"Nggak ada sih.. tapi apa gak sedih kalo terus-terusan tidur di kamar Aa? Kan jadi keinget terus? Teh Aya bahkan gak mau dateng kesini lagi semenjak hari pertama kita gelar pengajian.." Ucap Kaira lagi yang hanya Lana respon dengan senyum lembut, sambil mengusap kepala adik sepupunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brainwave
FanfictionKelana pikir senyuman lebarnya akan menyembuhkan. Tekadnya untuk tetap giat belajar, membangun koneksi baik dengan banyak orang, selalu bertingkah ceria.. Kelana pikir itu semua cukup untuk memperbaiki kerapuhan di dirinya. Menambal sebuah bidang ya...