Bising.
Sekitarnya sangat bising.
Banyak orang berbicara, tanpa dirinya tau membicarakan apa. Semuanya seperti tidak terkendali. Dialog tanpa kata tenang sama sekali, berhasil memekakkan telinganya.
Arah pandangnya masih sama, gelap. Tidak ada yang berubah selain telinganya yang mendengar kebisingan di seisi ruangan yang ia sendiri tau jelas.
Sekali lagi, ruangan ini bising.
Gadis itu mencoba menggerakkan tangannya, namun satu jari pun tak dapat ia angkat. Berat sekali. Matanya pun masih sulit ia buka, terasa seperti telah lama tertutup. Kaki, juga bagian tubuhnya yang lain tak ada yang dapat ia kendalikan. Ada apa sih, dengan tubuhnya?
Sayup-sayup ia kembali mendengar kebisingan itu. Sudah cukup tenang, tidak terlalu gaduh, tapi semakin jelas.
"Alhamdulillaah, masa kritisnya sudah berlalu.."
Suara yang tidak asing terdengar. Ia sering mendengar suara pria ini dalam berbagai kondisi. Dengan nada-nada tinggi seperti ketika sedang terlampau senang, atau mengomel marah. Dengan lembut dan penuh kasih. Juga dengan lirih, penuh kekecewaan. Suara yang membuat dadanya berdesir kencang.
"Tadi jantungnya sempat gak stabil, bentuk gelombangnya gak karuan sampai harus di defibrilasi. Frekuensi pernapasannya juga melemah. Selama dua jam ke belakang tadi organ vitalnya benar-benar gak stabil." Ucap sebuah suara yang ia yakini pemiliknya adalah seorang wanita muda. Tidak terlalu dikenalnya, namun sepertinya juga tidak terlalu asing.
"Ya Tuhan, Lana anak Bunda.."
Suara ini juga.
Jantungnya kembali berdesir, dan kembali berdesir lebih cepat ketika isakan kecil keluar dari sang pemilik suara. Tunggu, apa suara ini juga milik seseorang yang dikenalnya dengan dekat? Karena sungguh, jika iya.. dirinya sangat rindu. Sangat sangat rindu.
Sekitarnya kembali sunyi, hanya terdengar beberapa suara alas kaki menjauh dari sana. Lalu senyap. Arah pandangannya hitam, telinganya juga tak dapat lagi mendengar bising, kenapa? Apa semua orang pergi? Lalu untuk apa ia disini sendirian? Orang-orang tadi meninggalkannya, ya?
Suara derap kaki kembali terdengar, kali ini semakin lama suaranya malah semakin keras. Ya, derap kaki itu seperti mendekatinya. Suara decitan dari gesekan kedua benda terdengar nyaring. Lana tidak yakin suara apa yang baru saja di dengarnya, tapi ia yakin dengan jelas jika seseorang yang menghampirinya lah yang menyebabkan gesekan itu.
"Na, saya dateng.."
Ternyata seorang laki-laki.
Suara bariton yang samar-samar di dengarnya membuat sesuatu dalam diri Lana berdesir. Lagi-lagi suara yang tidak asing di telinganya.
"Makasih Na, makasih perjuangannya. Makasih karena kamu masih bertahan." Ucapnya lagi sambil menggenggam tangannya, lembut.
"Saya wisuda hari ini Na, tapi saya gak ikut tunnel." lelaki itu kembali meracau. Membicarakan apapun yang dirinya inginkan. Membuat hatinya terasa menghangat. Untuk berbagai alasan yang dirinya tidak tau pasti, hatinya menghangat setiap kali mendengar lelaki ini bercerita banyak tentang kehidupannya. Mendengar semua itu, layaknya sesuatu yang sudah ia harapkan sejak lama, meski Lana sendiri tidak tau pasti apa.
"Na, kapan kamu bangun? Ayo liat senja.." kini suara lelaki itu terdengar lirih di telinga Lana. Membuat hati Lana sedikit tercubit, sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brainwave
FanfictionKelana pikir senyuman lebarnya akan menyembuhkan. Tekadnya untuk tetap giat belajar, membangun koneksi baik dengan banyak orang, selalu bertingkah ceria.. Kelana pikir itu semua cukup untuk memperbaiki kerapuhan di dirinya. Menambal sebuah bidang ya...