28. Senja

410 77 6
                                    

Bolehkah Lana sedikit mendeskripsikan rasanya berada di antara keluarga besar Raka?

Jika hanya dengan satu kata saja, mungkin kata hangat dapat dengan mudah menggambarkan seisi keluarga ini. Mereka semua sangat hangat—semuanya, tidak ada pengecualian. Cara mereka saling menyalami dan memeluk di awal pertemuan, cara mereka bercengkrama dengan satu sama lain, bahkan mereka saling mendeskripsikan satu sama lain dengan sangat hangat. Seperti saat ini, mereka saling mendeskripsikan satu sama lain pada Lana yang belum mengenal mereka semua—selain keluarga kecil Soeharsono, tentunya.

"Yang ini Bi Citra nih Neng, adik ipar Bunda. Suaminya yang itu tuh, yang lagi ngobrol sama Ayah. Namanya Mang Panji." Lana tersenyum pada seorang wanita yang Bunda kenalkan, lalu matanya mengikuti arah tunjukkan jari Bunda. Lana mengangguk-angguk paham. "Bi Citra teh punya toko kue. Dia jual macem-macem, dari mulai kue tradisional sampai kue taart lucu gitu."

Lana melirik Bi Citra, memberinya senyuman. Sedang wanita yang berada tepat di sebelahnya itu langsung merangkulnya hangat. "Ntar Lana dateng atuh ke toko Bibi, gak jauh kok dar kampus Lana. Sekampus sama A Raka, kan?"

Lana mengangguk singkat, mengiyakan.

"Bi Citra bawa bugis sama gegetuknya da, Lana suka gak?"

Lana kembali mengangguk, kali ini lebih semangat. "Suka banget, Bi! Apalagi gegetuk hehehe Nenek Lana juga dulu suka bikin, enak pisan!"

"Punya Bibi di jamin lebih enak. Pake keju."

Senyum Lana merekah lebar, senang.

"Nanti Lana cobain ya Bi, ada di meja makan, kan?" Bi Citra langsung menjawab dengan anggukan.

Seorang wanita lainnya menghampiri mereka bertiga yang sedang berbincang. Lana langsung menghampiri dan menyalaminya. Harus sopan, karena ini kesan pertamanya bertemu. Jangan sampai kesan pertama Lana malah jelek.

"Yang ini namanya Bi Neng, nama aslinya mah Maya tapi panggilnya gitu aja, ya? Ini adik bungsunya Bunda, yang paling manja!" Lana mengangguk sambil tersenyum setulus mungkin. Agak canggung sih, tapi tidak apa. Suasananya juga bagus.

"Ini pacarnya Aa, ya? Aku Bibinya yang paling cantik!" Kata wanita itu sambil tergelak.

Eh? Pacar?

"Temennya, kok Bi.."

"Sok rupa-rupa waé ah, Neng mah.. ceuk saha étatéh?" (Suka macem-macem aja Neng mah, kata siapa itu?) Bunda mulai angkat bicara. Sesekali wanita itu melirik Lana, takut gadis itu merasa tak nyaman.

"Tuh.. si bungsu." Jawab Bi Neng sambil menunjuk Gamma yang sedang mengobrol dengan Ayah dan Mamang-mamangnya.

Gamma.. anak itu benar-benar!

"Atuh masa temen doang udah dikenalin ke keluarga besarnya?" Tanya Bi Neng dengan tatapan jahilnya. Beda dengan Bi Citra, sepertinya Bi Neng lebih senang bercanda. Ia juga terlihat sangat terbuka pada siapapun.

Sedang Lana hanya tersenyum canggung, bingung juga harus memberi respon seperti apa.

"Lana ambil gegetuk gih, cobain gegetuk Bibi!" Ucap Bi Citra menengahi. Ia mengedipkan sebelah matanya samar-samar pada Lana, membuat Lana benar-benar bersyukur. Untung saja ada Bi Citra! Setidaknya, Lana bisa keluar dari situasi canggung tadi.

Setelah berpamitan, Lana pergi ke meja makan. Ia mulai menuangkan sinduk demi sinduk sop buah, juga mengambil beberapa potong getuk dan menempatkannya pada piring kecil yang sudah tersedia disana. Lana berlari kecil, segera membawanya menjauh dari keramaian.

Sesekali, ia edarkan pengelihatannya, mencari Raka yang sedari tadi tidak terlihat batang hidungnya. Tadi sih, ia berbincang dengan Gamma, juga yang lainnya, tapi sejak Lana berkenalan dengan Bi Neng, ia tidak lagi menemukan keberadaan Raka. Kemana ya, lelaki itu?

BrainwaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang