Lana menghadapkan dirinya pada pintu mobil yang berada di samping kirinya, gadis itu kembali membelakangi lelaki yang saat ini mungkin fokusnya sudah terbagi dua, antara jalanan juga emosi Lana yang tiba-tiba akan meledak.
Lana sendiri tidak tau kenapa dirinya jadi seperti ini. Setelah mendengar pendapat Candy tentang si lelaki cupu dan tak serius, Lana merasakan hal berbeda yang dirasakannya saat ia melihat Raka. Lana benci, ia jadi tidak mau melihat lelaki itu ada di sekitarnya. Lana ingin jauh-jauh dari Raka, ia tidak ingin berinteraksi dengan Raka, ia bahkan tidak ingin berbicara pada Raka barang satu kata pun. Lana jadi sesensitif itu tentang Raka.
Gimana kalau ternyata dia datang hanya untuk main-main?
Gimana kalau ternyata dia hanya ingin mempermainkan kamu, lalu pergi?
Gimana kalau ternyata dia gak benar-benar peduli?
Pikiran semacam itu terus menerus memenuhi pikiran Lana, membuat Lana sesak. Bila sedang seperti ini, biasanya Raka akan datang padanya, menyambut Lana dengan manis di pelukannya, lalu membuat Lana tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Biasanya akan semanis itu, tapi bahkan lelaki itu tidak bertanya tentang apa yang terjadi pada Lana hari ini.
Ia tidak peduli.
"Padahal kan Aa selalu nanya.." ucap Lana dengan lirih. Tanpa ia sadari, air mata yang sedari tadi di bendungnya meleleh. Ia menangis.
Lana sempat heran dengan hormonnya akhir-akhir ini, kenapa ia menjadi sangat cengeng?
Saat menyadari mobil yang ia tumpangi sudah benar-benar berhenti, Lana memilih untuk kembali menegakkan tubuhnya. Tangannya ia pakai untuk menyeka sisa-sisa air mara yang tadi sempat meleleh di pipinya.
Baiklah. Mungkin ini waktu yang tepat baginya untuk berbicara dengan Raka. Tidak tau juga sih mau berbicara tentang apa. Ya, apa saja lah pokoknya yang membebani hati dan pikirannya. Lana sudah tidak bisa lagi menahan semuanya.
"Loh kamu nangis?" Tanya lelaki itu sambil mengarahkan tangannya ke arah pipi Lana, yang langsung di tepis oleh gadis itu.
"Gausah pegang-pegang! Aa tuh sebenernya kenapa, sih? Sebenernya mau apa di hidup Lana? Aa ngomong sayang sama Lana, terus bilang itu cuma bercanda. Aa cupu kayak yang Papa bilang, atau cuma mau main-main sama Lana? Lana gak ngerti—"
"Saya cupu." Jawab Raka singkat, membuat Lana sedikit tersentak kaget. "Maksudnya gima—"
"Ya saya cupu, saya pengecut. Saya gak berani bilang langsung ke kamu kalo saya sayang sama kamu, karena.." lelaki itu menggantungkan kalimatnya sejenak, matanya mengarah ke langit-langit mobil, berpikir.
Karena apa? Batin Lana bertanya tak sabar.
"Emangnya akan ada yang berubah dengan saya mengakui itu semua?"
Lana terdiam sejenak, menggigit bibirnya pelan. Apakah akan ada yang berbeda setelah Raka benar-benar mengakui hal ini pada Lana.. Lana tidak yakin. Apakah akan ada yang berubah dari mereka berdua setelah semua ini.. Lana pun tidak yakin.
"Coba deh, sekarang orang-orang nyatain perasaannya untuk apa? Pacaran, kan?" Tanya Raka yang langsung di jawab oleh anggukan kepala Lana. "Kamu tau sendiri kalau saya gak akan pernah pacaran, dan kamu.. emang kamu udah siap pacaran lagi?"
Lana menggeleng kuat. Ia belum bisa membangun komitmen semacam pacaran. Cukup Adi yang menyakitinya sebagai pacar, jangan Raka, jangan siapa pun.
Ah iya, Lana mungkin lupa soal ini.
Setelah putus dari Adi, ia memang sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membangun hubungan semacam itu dengan siapapun. Ia berjanji untuk tidak membiarkan dirinya berada di dalam hubungan seperti itu lagi. Tapi lucunya, Lana kini malah bertingkah seperti ingin di pacari Raka, atau sejenisnya. Lana terlalu membawa perasaannya, tapi untung saja Raka mengingatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brainwave
FanfictionKelana pikir senyuman lebarnya akan menyembuhkan. Tekadnya untuk tetap giat belajar, membangun koneksi baik dengan banyak orang, selalu bertingkah ceria.. Kelana pikir itu semua cukup untuk memperbaiki kerapuhan di dirinya. Menambal sebuah bidang ya...