Epilogue: Fearless

771 67 15
                                    

Dua tahun kemudian

Baling-baling pesawat berderu, menimbulkan suara gemuruh. Satu pesawat pergi lagi. Yang lainnya datang untuk kemudian kembali pergi. Bertukar, silih berganti. Tidak ada yang benar-benar tinggal, juga yang benar-benar pergi.

Tempat ini hanya persinggahan.

Lana kembali melirik jarum jam di pergelangan tangannya. 14.40. sepuluh menit lagi sampai pesawat yang di tumpangi kedua orang tua dan adik kecilnya mendarat—itupun jika sesuai jadwal.

Kakinya berketuk asal di lantai, mengusir bosan, dengan tangan yang terus mengoper sebuah kunci dengan gantungan acrylic bermotif bintang—sebuah kunci mobil. Dari tangan kiri, ke tangan kanan, kemudian kembali ke tangan kiri. Mata gadis itu menelisik sekitar, mencari hal menarik yang bisa menggantikan rasa bosannya menunggu.

Hingga akhirnya teralihkan pada satu pemandangan manis di jarak 3 meter dari tempatnya duduk.

Sekumpulan remaja—usianya mungkin 16-18 tahun, mungkin baru saja lulus SMA—saling merangkul. Ada yang menangis, juga tertawa. Ada yang menunjukkan kesedihannya, juga yang mencoba berbahagia. Di tengah-tengah mereka, terdapat seorang anak remaja laki-laki yang menggandong ransel besarnya. Tangannya terjulur ke arah puncak kepala seorang gadis di hadapannya—satu-satunya yang menangis di antara anak-anak itu.

Apa kamu bisa tetap disini?

Apa kamu memang harus pergi?

Kamu benar-benar mau ninggalin aku?—kalimat-kalimat tersebut seakan bersuara dari sorot mata gadis cantik itu.

Aku harus pergi.

Aku akan baik-baik aja.

Kamu akan terus sama aku.—balas tatapan si laki-laki.

Mereka tersenyum, lalu saling menghambur ke pelukannya satu sama lain. Sedangkan teman-temannya yang lain hanya berusaha menenangkan. Yang dilakukan teman laki-laki mereka tidak banyak, karena bahkan si remaja laki-laki beransel besar pun hanya sedikit menunjukkan emosinya. Beda dengan teman perempuan yang mengelus punggung si gadis yang sedang menangis.

Pemandangan yang manis, sekaligus memilukan.

Membuat Lana teringat pada seseorang.

Seseorang yang bepergian sangat jauh, tanpa adanya kalimat perpisahan Lana sampaikan. Atau mungkin sudah, tanpa Lana tau ternyata orang itu akan pergi sangat jauh. Sejauh itu, sejauh yang tak pernah Lana bayangkan.

"Kalau di lain waktu takdir ada di pihak kita, you won't push me away like this, right?"

Lana tersenyum mengenang kalimat yang lelaki itu ucapkan sore itu. Lucu. Semuanya bahkan bisa terbolak-balik sejauh ini. Dalam dua tahun, terlalu banyak yang terjadi di hidup mereka masing-masing. Apalagi hidup lelaki itu yang sepertinya berhasil menjauh dari Lana tanpa harus Lana usir kembali.

Lelaki itu sudah sangat jauh dari gapaiannya.

Drrrt drrrrt

Getaran ponsel berhasil menyadarkan Lana dari lamunan yang dibangunnya sendiri. Hhhhh tidak seharusnya ia memikirkan soal itu lagi. Cukup, Na.

"Halo? Ah iya mbak, saya masih di luar kota, harus jemput orang tua saya di bandara. Oh, kalau besok kemungkinan sudah di Bandung, saya sekalian ada janji sama client—iya, boleh Mbak, nanti saya buatkan laporannya. Iya, selamat siang, Mbak."

Lana kembali mengunci ponselnya, lalu kembali memasukannya ke dalam saku vest yang ia kenakan. Sebuah hembusan napas keluar begitu saja, sebagai tanda lega.

BrainwaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang