"Masalah itu bagai labirin. Salah mengambil langkah sekali saja, maka kamu akan terus terjebak di dalamnya. Bagai komedi putar, yang terus bergerak, tapi sesungguhnya tak kemana-mana."
-R=NFW.
🍂🍂🍂
Dengan wajah datar miliknya, Adhitya terus melihat ke bawah. Merasa tak sudi harus berdiri di ruangan ini, dan bicara pada papanya, Galang Kinantan.
Hari ini, hari Minggu. Hari yang seharusnya menjadi hari yang ceria bagi semua orang. Tapi tidak untuk Adhitya kali ini. Ia malah harus berhadapan dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya lagi.
Galang menatap ke luar jendela ruang kerjanya, lalu menatap foto keluarga-- foto yang sama seperti yang dimiliki Adhitya-- seraya menghela napasnya pelan. Diperhatikan anak laki-lakinya itu.
"Adhitya, apa kamu masih ingat sama omongan Papa? Besok adalah waktu terakhirmu, dan kamu tidak boleh melanggarnya lagi."
Adhitya hanya bergumam, sebagai respons. Tatapan yang biasanya tajam menatap papanya, sekarang malah tertunduk dan menjadi sendu.
Inilah yang dipikirkan Adhitya waktu itu. Ia harus merelakan prinsipnya nanti. Dan hal itu, seolah-olah terus terngiang-ngiang di telinganya.
Galang melangkah ke meja kerjanya, lalu merapikan beberapa dokumen kerja yang terlihat berserakan. "Papa sudah memberi kamu waktu untuk mendekati gadis itu sampai besok. Dan apa kamu ingat apa syaratnya?"
Adhitya mengangguk pelan, tak kuasa membayangkan syarat yang diberikan Galang.
"Baik! Kamu boleh mendekati gadis itu sesuka hatimu! Tapi ingat, setelah itu kamu harus jauhi dia! Sejauh-sejauhnya! Kalau perlu, tidak usah sekolah, dan pergi ke luar negeri!"
Galang tersenyum miring, lalu menepuk bahu putra bungsunya itu. "Bagus. Sekarang, kamu boleh pergi."
Tepat setelah Galang mengucapkan hal itu, Adhitya langsung keluar dengan langkah yang gontai. Tubuhnya terasa loyoh, dan kakinya seperti tak bisa digunakan untuk berjalan lagi. Lemas, hampir mati rasa.
Adhitya masuk ke kamarnya, berusaha meraih foto itu. Foto saat pentas seni dua tahun yang lalu. Adhitya menatap lamat-lamat foto itu, lalu memeluknya erat-erat. Seakan-akan foto itu akan lari jika Adhitya tak berbuat demikian.
Perasaannya bergejolak tak karuan. Dadanya sesak menahan beban yang terus datang, tidak ada habis-habisnya. Matanya memanas, terus memberontak agar mengeluarkan air mata.
Kini, wajah yang berperawakan tegas itu, tak punya tenaga. Pucat, seperti tak bernyawa. Tangannya bergetar memeluk bingkai foto itu.
Tidak hanya itu, Adhitya juga mengeluarkan foto keluarga yang terselip di salah satu buku tulisnya. Sekarang, Adhitya tak hanya memeluk satu foto, melainkan dua foto sekaligus.
Adhitya tidak bisa menahan lebih lama lagi, dan akhirnya satu tetes air mata meluncur dengan mulus di pipinya.
"Ma... Mama... Adhitya harus apa Ma? Harus apa? Adhitya sayang sama Athala... Seandainya Mama masih ada... Seharusnya Adhitya aja yang kecelakaan supaya Mama masih ada... Mama..." lirih Adhitya pelan, di sela-sela tangisnya. Kedua tangannya semakin erat memeluk foto dalam dekapannya.
"Iya... Adhitya bukannya mau durhaka sama Papa Ma... Tapi waktu itu, Adhitya cuma mau ngelindungin seseorang yang Adhitya sayang Ma... Adhitya sama sekali... Sama sekali nggak bermaksud buat masalah... Masalah untuk Papa..." katanya lagi.
Adhitya pun menangis tanpa suara, mengeluarkan segala gejolak yang menyesakkan dada.
Adhitya menangis dalam diam. Menangisi dua wanita yang sangat dicintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adhitha [COMPLETED]
Teen Fiction"Aku dan kamu itu satu." Ini tentang sebuah kisah. Si cowok berpenampilan cupu, yang menyimpan sejuta rahasia dan si cewek dingin, yang berusaha selalu kuat untuk menghadapi apa pun. Tentang mereka berdua. Adhitya Kinantan dan Athala Triata. amazi...