-Adhitha 69-

435 24 3
                                    

"Mari akhiri kisah kita, karena aku tahu itu tak akan pernah terjadi lagi."

🍂🍂🍂

Cahaya terang menyilaukannya, membuat sepasang mata bulat itu mengerjap-ngerjap. Sejurus kemudian, pusing menyerang kepalanya tanpa ampun. Membuat gadis itu mengerang, dan sukses menolehkan dua kepala yang sedari tadi menungguinya.

Fera mendekat menggenggam tangan Athala yang hangat. Ia mengelus rambut panjang Athala. "Sayang? Sudah bangun?"

Dhella pun ikut menghampiri, duduk di sisi ranjang yang satunya. Lalu matanya membesar ketika Athala memaksa untuk bangkit. Ia saling pandang dengan Fera yang sama bingungnya.

"Athala... Udah, kamu tidur dulu ya? Kamu baru sadar..."

Namun melihat Athala yang bersikeras, akhirnya Fera dan Dhella pun membantunya. Fera memberikan bantal di kepala ranjang, untuk menopang tubuh Athala yang lemah. Akhirnya, Athala pun duduk dengan bantal di balik punggungnya.

Matanya menelusuri seisi ruangan. Ia kenal dengan ruangan ini. Ini kamarnya. Tidak salah lagi.

Dahinya mengernyit sedemikian rupa hingga pandangannya mengunci salah satu benda yang langsung mengumpulkan kesadarannya seutuhnya. Ia mencengkeram tangan Fera, sukses membuat empunya terkejut bukan main.

Wajah Athala saat ini pucat, tubuhnya gemetar ketakutan. Menunjukkan rasa bersalah dan kasih sayang yang sama besarnya terhadap lelaki itu. Kemudian Athala mulai menangis. Dhella dan Fera dibuat kebingungan karenanya.

"Atha... Kamu kenapa, Nak? Kenapa Sayang?" tanya Dhella khawatir. Saat ini tangisan Athala semakin keras saja. Pundaknya naik turun mengikuti irama tangisan pemiliknya.

Setelah mengusap air mata di pipinya, Athala pun menjawab, "Adhitya Maaa.... Adhityaaa... Aku mau ketemu dia, Maaa... Aku salah sama dia, aku tega sama dia, aku udah jahat sama dia, Maaaa..."

Fera tak tahan untuk berdiam diri lagi. Diraihnya dan dipeluknya tubuh Athala yang lemah. Rambut Athala yang panjang ia elus dengan lembut. Berkali-kali ia menciumi kepala Athala dan membisikkan kata-kata menenangkan.

"Iya Sayang, Iya... Nanti Mama antar ya? Tapi kamu harus sabar dulu... Kamu juga perlu istirahat... Dengerin Mama, ya?" Fera menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya. Air mata di pipi Athala pun diusapnya. Namun Athala menggeleng kencang-kencang. Menyuarakan keras-keras ketidak mauannya.

Athala menepis tangan Fera pada sisi wajahnya kemudian menoleh pada Dhella. Ia goyang-goyangkan lengan wanita itu. "Mama Dhella mau kan anterin Athala sekarang? Aku mau ketemu Adhitya, Ma..." Athala pengin lihat Adhitya, Ma..." pinta Athala penuh harap seiring dengan air matanya yang semakin deras.

Ditanya seperti itu, Dhella hanya mampu menunduk. Ia tak tahu jawabannya. Sungguh.

Melihat hal itu, Athala menutup mulutnya. Kaget. Ia bungkam mulutnya agar tak ada lagi suara yang keluar. Ia sakit hati. Itu pasti. Tak ada yang mau membantunya. Ia hanya ingin bertemu Adhitya. Di mana salahnya?

Saat ini, Dhella dan Fera hanya bisa membisu. Mereka tatap Athala yang kini melayangkan tatapan tidak percaya. Rasa sakit itu terlihat jelas di mata bundarnya.

Dan tanpa keduanya sadari, setetes air mata pun jatuh.

Kesedihan di ruangan itu, terasa semakin menyesakkan.

🍂🍂🍂

Derap-derap langkah kaki yang  tak sabaran membuat kepala-kepala tertoleh penasaran di lorong rumah sakit itu. Seorang pria dewasa bersama seorang remaja lelaki berlari terburu-buru menuju ruang ICU.

Namun langkah mereka memelan saat menemukan seorang wanita berkerudung duduk di depan ruang ICU ditemani beberapa pria yang kelihatan sangat khawatir. Dengan cepat, Galang pun menghampiri sekumpulan orang itu--dan disusul oleh Haikal.

Menyadari kedatangan dua orang yang ditunggunya sejak tadi, Bu Ira segera berdiri. Ia berjalan mendekati mereka.

"Bagaimana keadaan Adhitya sekarang? Apa anak saya baik-baik saja?" tanya Galang tanpa pendahuluan ataupun basa-basi. Ia meneliti satu persatu orang yang ada di sana.

"Adhitya sekarang ada di dalam. Sedang ditangani oleh dokter. Bapak tenang saja, ya?" ujar Bu Ira sambil tersenyum simpatik. Walaupun ia tahu, bahwa itu sama sekali tak berguna.

Sontak saja, Galang menjambak rambutnya frustasi. Dengan agak linglung Galang mendudukkan dirinya di tempat duduk yang tersedia. Ia mengusap wajahnya gusar berkali-kali. Rasa-rasanya langit runtuh tepat di atas kepalanya. Galang benar-benar tak tahu harus berbuat apa.

Segalanya hancur. Betul-betul hancur tak bersisa. Ia merasa tak berguna. Ia merasa tak bisa menjaga keluarganya. Setelah Raina, ia kembali mengulang kesalahan pada Adhitya. Sungguh biadab sekali dirinya. Sungguh biadab!

Haikal yang sedari tadi memilih untuk diam, melakukan hal yang sama pada dirinya. Ia berulang kali menyugar rambutnya dan mengulum bibirnya. Salah satu tangannya terulur dan mengelus punggung papanya. Berusaha menguatkan laki-laki berumur itu.

"Adhitya pasti baik-baik aja, Pa. Haikal yakin. Haikal yakin Adhitya itu anak yang kuat. Dia aja bisa matahin tulang kering Haikal, Pa." Haikal tersenyum, meski sebuah kristal bening hinggap di pipinya.

Galang tak membalas. Pikirannya sibuk melayang-layang dalam penyesalan yang dalam.

Hampir sepuluh menit orang-orang itu sibuk bergulat dengan pikiran masing-masing hingga seorang dokter keluar dari ruangan ICU tersebut.

"Keluarga Ananda Adhitya apakah sudah ada di sini?" tanya dokter itu tiba-tiba.

Galang bangkit, lalu berjalan cepat menghampiri dokter itu bersama Haikal di belakangnya.

"Saya Pak. Saya ayahnya. Keadaan anak saya sekarang bagaimana?" Galang menunjuk dirinya. Dokter itu menghela napas lega.

"Keadaan anak Anda... "

🍂🍂🍂

Adhitha [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang