"Kenapa waktu tak berhenti? Tak kasihan kah ia padaku yang masih ingin bersama dengan dirimu?"
🍂🍂🍂
Galang masih ingat betul bagaimana bahagianya ia ketika putra keduanya lahir--Adhitya Kinantan. Itulah nama yang ia berikan pada permata kecilnya.
Lelaki paruh baya itu masih bisa membayangkan wajah bahagia Raina saat pertama kali bertatap muka dengan Adhitya. Sangat bercahaya, bahkan matahari pun tak dapat mengalahkannya. Ia benar-benar sangat bahagia waktu itu.
Galang juga masih ingat, mata berbinar Haikal ketika mendengar bahwa adiknya telah lahir ke dunia dengan selamat.
"Yeay! Haikal jadi Kakak! Papa, nanti Haikal yang gendong Adek, ya... Supaya Mama sama Papa gak capek."
Bersamaan dengan bermunculnya memori-memori itu, Galang dapat mendengar penjelasan dari seorang dokter di hadapannya.
"Keadaan anak Anda..."
"Ba-bagaimana, Dok? Adhitya baik-baik saja, 'kan?" tanyanya ragu-ragu. Haikal memegang kedua lengan tangannya. Ikut tegang akan perkataan Dokter selanjutnya.
Wajah lega dokter itu hilang sepenuhnya. Membuat hati Galang dan Haikal mencelos seketika.
Setelah mendengar semua penjelasan dokter, Haikal dan Galang sama-sama melebarkan mata mereka. Kedua orang itu memasang ekspresi tidak percaya. Terkejut dan tak bisa berkata-kata lagi.
🍂🍂🍂
Perempuan itu masih diam. Tidak ingin berbicara dengan siapapun juga.
Berjam-jam telah berlalu, tapi luka di hatinya masih terbuka begitu lebarnya.
Matanya menatap kosong tembok dengan gantungan dream catcher. Kedua tangannya bergerak, mencengkeram bawahan bajunya. Air mata mengalir begitu saja di pipinya. Namun, pemiliknya sama sekali tak sadar.
Kesadarannya habis telah ditelan rasa bersalah.
Athala kemudian menunduk, mulai berkhayal. Apa Adhitya akan tetap selamat bila ia tak lari meninggalkannya? Tapi jika ia tak lari, siapa yang akan membantunya? Ini semua salahnya. Kalau saja dua tahun yang lalu ia berani mencari tahu, semua ini pasti tak akan terjadi. Menyadari semua itu, Athala mulai menangis. Bahunya naik turun mengikuti irama tangisan pemiliknya.
"Maafin gue, Dhit... Karena gue lo udah menderita... Seandainya aja gu-gue lebih berani, se-semua ini nggak akan bakalan terjadi... Gue min-minta maaf, Dhit... Lo harus tetap ada di sini sampai gue bisa bales semua kebaikan lo..."
"Athala...? Mama boleh masuk, Nak?"
Mendengar suara seseorang di balik pintu kamarnya, Athala segera menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. Ia meringkuk, meredam suara tangisannya dengan bantal. Ia tak ingin mengucapkan sepatah katapun pada orang lain--walau itu adalah Fera maupun Dhella.
Dari luar, Dhella menghela napas gusar. Ditatapnya Fera yang saat ini berdiri di hadapannya, lalu ia menggeleng pelan. "Ini pertama kalinya Athala marah kayak gini. Selama ini dia nggak pernah seperti ini. Pasti bakalan butuh waktu lama buat dia untuk maafin kita, Fer," ujar Dhella lirih, ia mengusap lengan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adhitha [COMPLETED]
Teen Fiction"Aku dan kamu itu satu." Ini tentang sebuah kisah. Si cowok berpenampilan cupu, yang menyimpan sejuta rahasia dan si cewek dingin, yang berusaha selalu kuat untuk menghadapi apa pun. Tentang mereka berdua. Adhitya Kinantan dan Athala Triata. amazi...