Sepuluh

156 16 0
                                    

.
.
.
.

Setelah memastikan tak ada lagi bekas air mata, aku beranjak dari anak tangga melangkah menuju parkiran.

Saat aku melewati lobi, kulihat seorang pria bertubuh tegap lengkap dengan pakaian kerjanya berdiri menyandar di samping mobil pajero sport warna hitam mengkilat.

Aku merasa tidak asing dengan––

Pak Arga??

Ngapain pak Arga malam-malam begini di kantor? Bukannya pak Radit sudah pulang?

Dia berdiri dengan memasukkan kedua tangan nya ke dalam saku celana kain yang ia kenakan. Sesekali memperhatikan jam di pergelangan tangan nya. Apa dia menunggu seseorang?
Aku berjalan mendekat, dan sepertinya dia belum menyadari keberadaanku.

"Pak Arga?" Aku menghampiri. Dia mendongak dan sedikit kaget.

"Oh! Haii!! Kamu baru pulang? Jam segini?"

Aku mengangguk. "Ia, pak. Biasa lembur! Bapak nungguin siapa? Bukan nya pak Radit udah pulang?"
Pak Arga tidak jawab. Dia justru menatapku dengan tatapan aneh dan membuatku jadi gugup.

"Kamu habis nangis?"

"Eh?"


Aku buru-buru mengusap wajahku. "Nggak, pak. Mungkin karena ngantuk ini, jadi agak merah, hehe!" Aku memaksakan tawa.
"Bapak belum pulang?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Ayo, saya antar kamu!" Katanya datar. Tidak terdengar seprti sedang menawarkan, tapi lebih ke memerintah.

"Nggak usah, pak. Saya bawa motor itu di parkiran" kataku sambil menunjuk ke arah parkiran.

"Malam-malam begini kamu mau pulang naik motor?" Kali ini nadanya sedikit naik.

"Udah biasa, pak!"

"Kamu ikut saya saja!"

"Tapi, pak––"

"Saya dari tadi nungguin kamu disini." Katanya kemudian yang membuat aku sontak kaget.

Ngapain?
Darimana juga pak Arga tau aku masih di kantor jam segini?

"Ehmm.. saya nggak sengaja lihat kamu tadi di tangga waktu saya keluar dari ruangan Pak Trisno" katanya seperti menjawab penasaranku.

Jadi?
Itu artinya pak Arga lihat aku tadi?
Pas nangis?

Tolong, siapapun! Jin, tukang sulap, setan dan sejenisnya yang bisa membuat seseorang menghilang, hilangkan aku dari sini. Atau hilangkan saja orang yang di hadapanku ini, sekarang!!!
Malu sekali pak Arga melihatku nangis, pasti dia merasa kasihan sekarang.

"Hana!"

"Eh..?"

Dia membuka pintu mobilnya. "Ayo, masuk!" Lagi-lagi dia memerintah.

"Ttt–ttapi motor saya, pak" aku membuat alasan.

"Biar disini saja. Nggak akan hilang"

Untuk kesekian kalinya akhirnya aku menyerah. Rasanya tidak pernah aku menang melawan bapak ini.

***

Suasana di dalam mobil kali ini benar-benar hening. Aku masih diam tidak bersuara, sementara pak arga juga sepertinya enggan membuka mulut. Dia hanya fokus mengemudi sesekali mengecek iPhone nya atau menerima telepon. Ciri khas orang sibuk.

"Ehhmm!!"

Aku menoleh, aku kira pak Arga mau ngomong, ternyata cuma berdehem.

Andai aku bisa membaca fikiran seseorang, ingin sekali aku melihat isi fikirannya sekarang. Apa yang dia fikirkan tentangku, kenapa pak Arga baik sekali sampi menunggu malam-malam begini?
Tapi sayangnya aku bukan cenayang!

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang