Dua Puluh Tujuh

170 20 14
                                    


Akhirnya update juga setelah susah payah meluangkan waktu untuk ini.

Hati-hati kondisi rawan typo!!

Selamat membaca....!

🍁🍁🍁

Mobil travel yang ku tumpangi bergerak meninggalkan halaman rumah semakin jauh.

Ku eratkan jaket ku menyamarkan udara dingin yang menyapa tubuhku pagi ini.

Wajar saja pemandangan yang kulihat dari Jendela kaca masih gelap dan dingin, masih pukul 05.25 WITA.

Untuk yang kesekain kalinya aku menguap sesekali menggosok telapak tangan yang dingin.

Kalimantan memang beriklim panas karena pulau ini dilewati garis khatulistiwa. Pada saat siang hari udaranya akan sangat menyengat begitu terik. Makanya orang-orang yang traveling ke daerah ini disarankan membawa tabir surya atau lotion agar kulit tidak rusak.

Tapi meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan cuaca di pagi hari terasa sangat dingin apalagi disaat cuaca hujan saat ini.

Kalau saja tidak pulang hari ini, pasti sekarang masih enak-enaknya bergulung di tempat tidur ditemani suara rintik hujan yang terdengar merdu menarik mata untuk tetap terpejam. Juga masih bisa menikmati sarapan nasi kuning jualan acil di depan rumah.

Seharusnya masih ada dua hari lagi. Rencana sebelumnya memang akan berangkat lusa. Wajar ibu marah begitu aku kasih tau kemarin pagi. Tadi saja rasanya ibu masih kecewa memberangkatkanku ke mobil ini.

"Ya sudah kalau kamu nggak mau jujur sama ibu alasan kamu pulang mendadak ini. Kamu sudah dewasa dan ibu sudah ndak bisa melarang kamu. Terserah kamu saja kalau gitu."

Ibu marah pagi itu. Bukannya tidak mau jujur, hanya saja aku juga tidak punya alasan yang jelas soal kepulangan yang mendadak ini.

Intinya aku sudah tidak bisa tenang tinggal di rumah setelah kesalahan yang kami lakukan pada malam tahun baru itu. Bisa saja dia mendatangiku kerumah. Meskipun sehari setelah malam itu aku berhasil menyembunyikan diri di kamar dengan berbohong tentu saja.

Setelah seharian itu dia memborbardirku dengan pesan dan panggilan teleponnya, aku memutuskan mem-booking tiket penerbangan ke Jakarta dan segera meninggalkan kota ini.

Aku takut kalau-kalau kak Mei mencium sesuatu yang salah itu lalu membenciku. Menghindar adalah pilihan yang tepat untuk saat ini.

Setelah malam itu sampai hari ini, aku belum pernah lagi melihat wajahnya, bahkan pesan-pesan yang sudah masuk di HP ku tidak pernah ku balas barang sekalipun. Kami hilang komunikasi—lebih tepatnya aku yang memilih menghindar.

Bayangkan saja, bagaimana aku harus bersikap kalau harus melihat wajahnya? Aku nggak bisa bersikap biasa saja setelah kejadian itu. Selain merasa berdosa melakukan itu dengan sahabat sendiri—meskipun sebenarnya bukan aku yang memulai, tetap saja aku kecewa padanya.

Dia seharusnya tidak melakukan itu, aku bukan siapa-siapanya selain teman. Teman tidak akan melakukan itu, kan? Kecuali ada perasaan lebih dari sahabat di dalamnya. Tapi faktanya yang melakukan itu dia, bukan aku yang jelas menyimpan rasa dari dulu. Dan dia tidak memiliki itu.

Meskipun malam itu aku tidak bisa menghentikannya tapi—kalian tau bagaimana perasaanku dari dulu padanya. Wajar kalau aku khilaf dan malah menikmati ciuman nya. Tapi dia....yang tidak punya perasaan apapun padaku bagaimana bisa?

Apa diluar sana dia biasa melakukan itu dengan wanita sembarangan? Yang bukan pacarnya?

Tidak ada yang bisa ku ucapkan setelah dia menjauhkan wajahnya dariku dengan tangan masih menangkup kedua sisi wajahku.

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang