Dua puluh dua

151 18 2
                                    

Rencana mau ganti judulnya ini, agak nggak cocok gitu nggak sih?
Bagusnya dikasih judul apa ya..??

🍁🍁🍁
Seolah belum cukup dengan waktu yang selama ini perasaanku dipermainkan tidak pasti, sekarang baru saja mendengar sesuatu yang membuat tekatku untuk menjauh goyah begitu saja.

Sudah beberapa hari ini aku menjaga jarak dengannya. Maksudnya——membatasi komunikasi kami yang menurut mbak Raya berlebihan untuk ukuran sahabat, kalau jarak mah memang sudah jauh.

Nggak tau, dia percaya atau tidak dengan alasanku yang mengatakan aku lebih sibuk menjelang akhir tahun. Aku mengatakan selalu pulang larut sehingga dia sekarang hanya menelpon sekedar menanyakan apa aku sudah di kontrakan atau belum, dan itu nggak pernah lebih dari lima menit saja. Dia mengerti aku pasti lelah dan dia selalu mengakhiri pembicaraan secepat mungkin.

"Kamu dimana? Udah nyampe rumah, Han?

"Udah!"

"Sendirian?"

"Iya!"

"Kalau memang tiap hari lembur mending kamu nggak usah bawa motor sendiri. Minta antar sama yang lain aja, yang bawa mobil. Tapi cewek. Daripada pulang sendiri."

"Nggak apa-apa. Aman kok!"

"Jangan sok berani! Kalau aja aku disana, aku yang antar jemput kamu tiap hari."

"Hmmm.....!"

"Ya udah! Aku tutup telpon nya. Kamu isitrahat, ya...."

Bahkan beberapa kali aku sengaja nggak ngangkat telepon dan kemudian aku akan mengirim pesan ngasih tau udah di rumah. Dan semua itu hanya alasan semata, nyatanya aku selalu sampai di kontrakanku sebelum pukul delapan malam.

Semoga waktu cepat berlalu dan aku akan merasa terbiasa dengan tanpa kehadirannya di hidupku lagi...

Tapi semua perjuanganku tadi seolah tidak ada artinya saat aku mendengar sesuatu dari kak Mei.

Aku baru saja mengabari kak Mei kalau aku nggak jadi pulang. Ya, hampir saja aku lupa ngasih tau.

Awalnya kak Mei tetap maksa biar pulang bareng. Aku terpaksa berbohong lagi, mencari alasan apapun asal kak Mei ngerti dan nggak maksa lagi.

Tapi kemudian aku tercengang saat kak Mei mengeluh dia akan bosan di jalan kalau pulang sendirian.

"Loh! Kak Mei nggak pulang bareng Hilton?" Aku bertanya penasaran.

"Ya kalau dia mau mah aku nggak mungkin maksa kamu juga." Aku mengerutkan kening. Kemudian dia mengoceh lagi. "Padahal jauh-jauh hari aku udah ngasih tau dia, harusnya kan masih bisa ngatur waktu. Tapi dia tetap nggak mau." Katanya menggerutu.

"Tapi dia tetap pulang, kan?"

"Iya! Pulang. Katanya ada yang mau dia tungguin gitu."

"apa?"

"Nggak tau! Nggak dia kasih tau juga. Soal kerjaan kali."

Tolong jelaskan apa maksud dari semua ini.

Apa coba maksudnya dia nolak pulang bareng kak Mei pake bohong segala tapi malah maksa aku terus mau pulang bereng. Maksudnya dia apa? Pacarnya kan kak Mei—bukan aku.

Kalau gini ceritanya kan aku jadi lebih labil dari anak remaja yang baru puber. Maunya dia sebenarnya itu apa, sih? Hobi banget seolah ngasih aku harapan.
Harapan palsu!!

***

Aku tersentak dari tidurku begitu mendengar dering ponsel yang berada di dekat bantalku. Sangat dekat sampai mengganggu tidurku.

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang