Semoga masih ada yang ingat dan nunggu cerita ini.
Kondisi rawan typo!
.
.
.
"Jadi karena itu kamu tiba-tiba menghilang? Ganti nomor, Sampai minggat dari kontrakanmu yang lama?"
Ia mengangguk kecil. Wanita yang kini duduk hanya berjarak kurang dari sejengkal jari dengan Hilton dan bersandar di kaki sofa yang sama dengannya itu mengangguk ragu.
Posisi duduk pavorit mereka setiap bertemu masih sama, duduk di lantai dan bersandar di kaki sofa.
"Aku pikir nggak mungkin akan terus nunggu kamu seperti bertahun-tahun sebelumnya. Bisa-bisa aku akan jadi perawan tua." Hana tersenyum remeh mendengar kalimatnya sendiri.
"Kamu tau sendiri selama ini aku nggak pernah pacaran sekalipun. Kamu pikir itu karena apa?"
Lalu ia melanjutkan, "Saat Arga, papanya Arani datang dan menunjukkan keseriusannya, awalnya aku ragu, tapi semakin hari aku bisa lihat dia benar-benar tulus sampai akhirnya aku berani mengambil keputusan. Karena aku pikir, akan lebih mudah untuk belajar mencintai seseorang yang memang mencintai kita daripada menunggu seseorang yang kita cintai setengah mati tapi tidak mencintai kita, kan?"
"Dari dulu aku udah cinta sama kamu, kalau kamu tidak tau" Sangkal Hilton tidak terima.
"Yah...aku mana tau. Meskipun kamu pernah menciumku di bibir, meskipun sikap kamu memang selalu membuat aku berkali-kali berpikir kamu mungkin punya rasa yang sama, tapi itu nggak cukup. Kamu tau wanita itu butuh kepastian. Lagipula, kamu punya kak Mei"
Hilton mendesah. Menyesali kebodohannya untuk kesekian kalinya. "Aku tau aku salah. Terlalu munafik." Ia menengadah menatap langit-langit dengan kedua tangan menangkup sisi wajahnya. "Ternyata butuh waktu bertahun-tahun dulu untuk kita bisa saling jujur seperti ini" Lalu kembali menatap Hana.
"Kenapa kamu pergi setelah malam itu?" Malam yang dimaksud Hilton adalah malam saat dia mabuk.
Malam yang semakin dalam tak membuat dua insan itu berniat membiarkan waktu berlalu begitu saja. Malam yang terlalu berharga untuk dilewatkan hanya untuk memejamkan mata. Tidak mudah untuk menemukan moment seperti ini, bicara dari hati ke hati.
"Aku nggak tau kenapa aku tiba-tiba ngomong begitu. Aku aja nggak sadar dengan apa yang aku omongin. Padahal saat itu aku udah nerima lamaran mas Arga."
Lagi-lagi, mendengar itu rasanya Hilton ingin menghantamkan dirinya ke sesuatu yang keras. Dia amat merutuki kebodohanya selama ini.
Sudah cukup lama mereka bicara hingga tanpa mereka sadari waktu berjalan dan sekarang sudah hampir pukul tiga pagi, dan tak satupun yang ingin beranjak dari ruangan yang tampak sepi itu.
Berawal dari permintaan mendadak Hilton beberapa saat lalu yang mengajaknya menikah, hingga mereka sampai pada masa lalu, masa dimana mereka akhirnya hilang komunikasi—lagi. Keduanya pun tenggelam dalam putaran waktu empat tahun lalu.
"Padahal malam dimana kamu mabuk dan—"
"Aku nggak mau ngebahas itu lagi" Ucap Hana menahan malu. Setiap mengingat itu selalu membuat wajahnya memanas. Kenapa juga Hilton membahas itu!
"Bagiku, itu justru sesuatu yang paling indah yang pernah ku dengar. Setiap malam aku selalu membayangkan bagaimana kamu saat itu bicara. Meski cara bicaramu yang sedang mabuk itu sedikit aneh. Bahkan—"
"Aku bilang ngak usah dibahas lagi!" Suara Hana meninggi.
Hilton berhenti. Tidak melanjutkan kalimatnya yang terpotong. Bisa-bisa nanti dia diusir karena membuat wanita itu kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long distance Friendzone shitt !
Chick-LitBetween men and women there is no friendship possible. There is passion, enmity, wordship, love but, no friendship!! Dan--kalau sudah merasa nyaman, seseorang bisa lupa kalau dia hanya teman, atau sahabat sendiri. Rasa nyaman bisa membuatku lupa...