Dua Puluh Enam

184 17 5
                                    

.
.
.
.

Mataku baru saja terpejam ketika suara deringan ponselku harus menyeret mataku kembali terbuka.

Buru-buru aku mencari asal suara. Akhirnya....

Tapi nama yang tertera di layar ternyata bukan dari pak Arga.

Sempat aku berfikir ingin mengangkat tapi ku urugkan.

Ku letakkan kembali benda itu di atas bantal lalu aku memejamkan mata. Tapi hanya selang hitungan detik benda itu kembali mengusik telingaku. Lagi-lagi masih dengan nama yang sama.

Begitu terus sampai entah berapa kali aku nggak menghitung dan tidak ada satupun yang aku angkat. Biarkan saja. Karena sekali saja aku hiraukan aku akan goyah lagi.

Tidurku lagi-lagi terusik mendengar suara disana. Yang ini bukan deringan telepon, tapi suara bapak yang memanggil.

Pengen pura-pura tidur tapi sudah ketahuan. Bapak sudah masuk dan melihat mataku yang masih terbuka.

"Loh, ternyata belum tidur. Kenapa telepon Hilton ndak kamu angkat?"

Ehh...?

"Hilton ada di luar."

"Biarin saja, yah. Ngantuk.." Kataku pura-pura menguap.

"Temuin sudah....!! Kasihan itu anak nungguin. seharian guring-ae kok masih ngantuk. Lagian cuma kamu anak gadis yang menghabiskan malam pergantian tahun sendirian di kamar"

Teleponku kembali berdering. Aku menatap bapak yang masih berdiri mengawasiku di sana.

Dengan malas aku menekan tombol hijau di layar. "Halo.." Kataku dengan suara malas.

"Kamu belum tidur, kan? Turun bentar, ya. Aku di bawah" Suaranya terdengar berat seperti biasa.

AKu menoleh mendengar suara pintu tertutup, bapak sudah keluar.

"Aku malas pergi ke Balikpapan. Kamu aja." Aku menolak terus terang.

Ingat, harus move on! Batinku mengingatkan.

"Ya udah nggak ke Balikpapan. Tapi kamu turun dulu, ya.." nadanya kali ini terdengar memohon.

Jangan luluh, Hana. Jangan luluh...tolak aja!!

"Hana..., please...!"

"Ya udah, bentar....!"

Huffftt....!!!
Lagi—?

Nggak. Cuma turun, temui terus tidur lagi.

Aku bergegas membuka pintu kamar. Sengaja tetap pakai baju tidur tanpa lengan dan celana kolor biar nggak bisa diajak keluar.

Aku mendapati dia duduk sendiri di kursi luar. Kali ini dengan hoodie abu-abu dan celana jeans seperti tadi siang dan sepatu sneakers. Dalam keadaan ngantuk pun masih bisa menilai ketampanannya.

"Ngapain..?" Aku masih berpura-pura malas. Padahal dalam hati jangan di tanya.

Dia menatapku sesaat. "lama banget ngangkatnya"

"Ketiduran!"

"Kadak bosan ikam guring tarus?" Dia bercanda dengan logat Banjarnya.
Aku hanya mendengus.

"Kamu udah makan?"

Aku mengerutkan dahi. Jam berapa ini masih nanyain udah makan apa belum?

"Udah."

"Temanin beli makan pang, di depan sini aja"

"Ngapain di temanin. Pergi aja"

"Maunya sama kamu."

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang