Empat Puluh

167 19 16
                                    

Hati-hati dalam membaca, kondisi rawan typo!!!

Kali ini update lebih cepat. 

Ini untuk teman yang masih setia nunggu #HanaHilton. :D

Semoga apa yang aku tuliskan disini kalian sukaaa....

Selamat membaca..!!!







Abaikan marah yang tadi sempat sampai di ubun-ubun dan—wanita bernama Helen.

Ini bahkan jauh membuat Hana lebih panik dan—ahh! Ia sudah tidak bisa berfikir dengan keadaan yang seperti ini. Bagaimana tidak, Di sana, di ruang tamu ada Wani dan Willian, dan-- Hilton sedang ada di kamarnya. KAMAR-NYA!

Bayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Hana menatap pada Hilton, bertanya lewat pandangannya, 'gimana ini?' namun pria itu hanya diam tanpa membantunya menemukan solusi dan dari wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kepanikan.

Ini kebodohan Hana, mengapa ia bisa memberikan Hilton memasuki kamarnya padahal ia tahu kalau Willian akan datang mengantar Arani. Ini pasti karena patah hati dan marah menutupi otaknya sehingga ia terjebak seperti ini.

Hana masih mondar-mandir di depan meja riasnya sambil sesekali menggigit kukunya, sambil mencoba memikirkan alasan, sebelum mereka turun.

"Ngapain mondar-mandir, ayo keluar!"

Suara Hilton menghentikan langkahnya, ia menatap geram, namun kegeraman itu hanya bisa ia telan dalam hatinya.

"Aku turun duluan" Dengan sigap Hana menahan lengan Hilton yang sudah akan mencapai pintu kamar. "Nanti kamu nyusul." Lalu Hana meninggalkan Hilton begitu saja tanpa sempat memberikan kesempatan untuk protes.

***

"Dari mana saja? Jam segini baru pulang"

Hilton disambut dengan tatapan tidak suka dari ibunya yang masih berada di apartemennya.

Wanita menjelang usia enam puluh itu duduk di sofa dengan remot tv di genggamannya, memandang putranya dengan meneliti. Hilton terlihat lelah, dan penampilan yang sudah acak-acakan, jauh dari yang ia lihat dari sebelum ia keluar dari rumah.

Hilton mengurungkan niatnya yang ingin memasuki kamar dan menoleh pada asal suara, "Belum tidur, mah?"

Bukannya menjawab, ibunya malah memandang Hilton dan menghela nafas.

"Makanya mama pengen kamu cepat-cepat nikah"

Hilton menatap ibunya bingung. Dia tau topik ini selalu saja jadi pembahasan mereka akhir-akir ini. Tapi dia tidak mengerti, ia baru saja pulang dan tiba-tiba disambut dengan pembahasan ini. Tapi ia memilih diam. Baru tadi pagi mereka membicarakan ini dan berujung pertengkaran kecil.

Kalau dia diam saja mungkin ibunya akan berhenti sendiri, batin Hilton. Namun ia salah, ternyata wanita itu masih belum menyerah sepertinya.

"Mama sebenarnya udah tau akan begini, tapi pas lihat secara langsung hidupmu yang seperti ini tetap saja bikin mama resah. Pulang malam, entah makannya dimana atau sudah makan atau belum nggak ada yang tau. Gimana ibu nggak cemas, coba?

Makanya mama pengen betul kamu punya istri, biar ada yang ngurusin hidupmu yang nggak beraturan ini. Ada yang masakin makanan sehat, ada yang maksa kamu pulang cepat, nggak kayak gini, mau pulang mau nggak, nggak ada yang ngatur."

Kini Hilton sudah ikut duduk di sofa berhadapan dengan ibunya. Ia tahu pasti akan mendengar ini, sudah dapat di prediksi sejak di jalan tadi.

Memang dia sudah berjanji tadi akan pulang cepat, rencananya hanya akan mengajak makan malam Hana dan Arani sebentar terus pulang. Namun semua itu tidak terjadi.

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang