Delapan

173 19 2
                                    

.
.
.
.

.

.
.
.

Pak Arga menghentikan mobilnya di pelataran gedung kantor PI setelah kembali dari makan siang.

"Terima kasih, pak. Untuk traktiran makan siangnya"

"Saya yang berterima kasih sama kamu, akhirnya mau makan siang sama saya."

Eh?
Akhirnya?
Apa itu maksudnya pak Arga sudah dari dulu ingin ngajakku makan siang?
Tolong kasih tau kalau aku terlalu berfikir berlebihan sekarang.

"Hana !"
Aku sontak menoleh ke samping, pak Arga menggerakkan alisnya menatapku dengan tatapan seperti mengatakan 'kamu belum mau turun?'

"Eh, ia, pak." Jawabku terbata.
Kenapa sih kalau ngomong sama pak Arga aku sering melamun? Ah, itu Pasti karena omongan nya yang kadang susah aku pahami.
Iya, dibanding pak Arga IQ ku emang jauh dibawahnya. Jelas saja aku harus mutar otak menguraikan maksud setiap omongan nya.

"Kk-kalau begitu saya turun, pak!"

***

Dengan perasaan takut-takut aku masuk ke dalam kantor, bagaimana kalau pak Radit atau pak Trisno tau aku telat masuk sampai sejam begini?

Sepanjang jalan menuju ruanganku, aku mencoba mencari alasan kalau-kalau nanti ditanya. Tidak mungkin aku memberitahu makan siang dengan pak Arga, kan? Nanti dikira aku sok akrab lagi.

Begitu tiba di lantai dua, aku lihat disana ada pak Radit sedang berbincang dengan Yaya, berdiri di samping kubikelnya Yaya tidak tahu membicarakan apa.

Duh! Kok timing nya nggak pas banget, sih?

Aku terus berjalan melewati mereka langsung ke ruanganku, masih berharap tidak diperhatikan, tapi tiba-tiba suara pak Radit menyerukan namaku, menghentikan langkah, aku menoleh.

"Pak Arganta dimana? Dia langsung pulang?"

Ehh...

Hah ??

Menanya pak Arga padaku?

Jadi dia bener-benar minta ijin?

Sumpah, aku pikir tadi dia cuma bercanda pas bilang minta ijin, eh taunya....

Memannya kapan, sih dia punya wajah-wajah bercanda? Aku mengoreksi dalam hati.

"Itu, ia pak. Udah langsung pergi"
"Oh, kirain masih mampir tadi. Yasudah!"

***

Masih di hari yang sama, pukul 19.15 aku mengemasi barangku setelah mematikan komputer.
Aku keluar dari ruangan, ternyata Yaya masih ada disana dengan komputer yang sudah mati. Ada mbak Raya juga sama Rani. Kebiasaan, pasti lagi ngerumpi.

"Kok pada belum pulang? Lembur, ya?" Aku berjalan menghampiri menyadar di dinding di salah satu kubikel.

"Nah! Ini dia tersangkanya !!" Sambut Yaya begitu menyadari keberadaanku sambil menunjuk-nunjuk padaku, aku mengerutkan kening bingung.

Nggak lama Rani beranjak dari kursinya, lalu pergi setelah berpamitan. "Titidije, ya!" Kata Yaya sambil melambaikan tangan.

"Tersangka apaan ??" Aku ikut bergabung duduk di kursi yang di tempati Rani. "Pulang yuk!"

"Eh, tunggu dulu, kamu nggak tau kami dari tadi disini lagi nungguin siapa?"
Itu suara mbak Raya, ia menggeser kursinya agar lebih dekat dengan ku dan Yaya.

"Nungguin siapa?"

"Kamu nggak ngerasa punya utang penjelasan ke kita?"

"Ia, kamu utang dua penjelasan ke kita, Na. Yang Pertama Hilton dan yang kedua Pak Arganta." Yaya ikut menimpali.

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang