Enam

201 22 1
                                    



Happy reading...
.
.
.
.

"Berarti semua datanya sudah pas ya, pak Arga catatan nya dengan Hana?"

"Sudah, pak Radit."
Pak Arganta mematikan laptop dan menyusun berkas yang ada di meja lalu memasukkan ke dalam tas. "Nanti sore atau paling lama besok pagi saya transfer sesuai dengan jumlah rincian yang disini, pak"

"Siap, pak. Siap !! Nanti komunikasi sama Hana saja." Kata pak Radit semangat.

Sudah dua minggu berjalan, sejauh ini kerja sama dengan pak Arga berjalan lancar. Dan hari ini aku dipanggil ke ruangan pak Radit untuk memberikan laporan penjualan pak Arga, sekaligus rincian perhitungan fee, selisih ppn dan pph juga biaya angkutnya.

"Baik, pak. Nanti saya kabari begitu saya transfer." Pak Arga sudah selesai memasukkan berkasnya, begitu juga aku yang sudah selesai menyusun kertas-kertas yang kubawa tadi, bersiap untuk pamit.

"Emm, kalau begitu saya boleh keluar, pak?" Aku menginterupsi sopan kepada keduanya.

"Oh, iya silahkan."

"Saya juga sekalian mau langsung pamit, sudah hampir jam enam juga ini" kata pak Arga sambil memperhatikan jam tangan Gold nya yang mengkilat.

Aku bergegas lebih dulu dan keluar dari ruangan pak Radit. Namun saat mau nutup pintu lift, kulihat pak Arga berjalan tergesa. "Hana ! Tunggu..!"

Aku tersenyum ramah saat pak Arga berada di dalam lift, hanya ada kami berdua disana membuatku agak sedikit canggung meski tidak secanggung dulu waktu pertama kenal. Pak Arga berdiri tepat di sebelahku dengan tubuh yang menjulang membuatku tampak kecil. Tentu saja, aroma tubuhnya yang sangat kusukai itu menguar di seluruh ruangan sempit itu dan ke ronggur hidungku.
Aromanya saja sudah membuatku gugup begini.
Kami memang hampir setiap hari berkomunikasi, tapi hanya komunikasi sewajarnya saja, hanya yang penting-penting soal kerjaan. Sejauh ini aku lihat pak Arga baik, ramah meski agak sedikit bicara tapi kadang suka becanda juga. Sejauh ini sih senang-senang saja.

"Kamu udah mau pulang?" Pak Arga bicara lebih dulu dalam keheningan itu. Aku menoleh agak menengadah karena dia berdiri menjulang tepat di sampingku, lengkap dengan tas sandang laptopnya.
Satu yang aku perhatiin selama ini, pak Arga selalu manggil dengan embel-embel 'mbak' setiap bicara di depan orang lain. Tapi kalau udah berdua begini selalu pakai 'kamu' nggak ada 'mbak' lagi. Aku sih biasa aja, toh pak Arga jauh lebih tua.

"Ia, pak. Udah mau gelap juga" Aku mengalihkan fokus ke hp, mulai memesan ojek online sekalian ngilangin rasa canggung, habisnya nggak tau mau ngapain. Berdua di ruangan sempit kayak gini itu kalau sama orang yang kita segani kayak pak Arga gini itu awkward banget tau. Ini lift nya juga kayaknya turunnya pelan banget.

"Kamu pulang naik apa?"
Aku menoleh lagi beralih dari hp, nggak sopan kalau ngomong sama orang sambil nunduk, kan? Apalagi orangnya dekat gini.

"Ojek online, pak. Biasanya sih naik motor, tapi motor lagi di titipin di bengkel, tadi mogok pas mau ke kantor."
Ia, makanya tadi pagi telat sampai setengah jam gegara dorong motor sampai nemu bengkel.

Pintu lift terbuka, aku melangkah keluar. "Nggak usah naik ojek! Biar saya antar kamu Pulang."
Aku menoleh ke belakang, ke pak Arga yang tertinggal sekitar dua langkah dariku.

"Makasih, pak. Tapi nggak usah, saya naik ojek aja" aku berusaha menolak ramah.

"Nggak apa-apa. Nggak usah terlalu kaku sama saya."

"Ehh? Nggak sih pak." Aku menyengir kaku, "Lagian saya juga mau mampir ke bengkel ngambil motor" aku memberi alasan.

Aku kasih tau, ya. Jangan coba-coba naik mobil berduaan sama seseorang kalau kalian belum cukup akrab, apalagi sama lawan jenis kalau nggak mau ngerasain suasana yang awkward kayak di lift tadi. Syukur kalau dua-duanya, atau paling nggak salah satunya ada yang pintar mencairkan suasana. Nah kalau dua-duanya sama-sama diam??
Kalau aku sih mending sama kang ojol, mau diam sepanjang jalan nggak peduli, malah malas kalau tukang ojek yang banyak ngomongnya.

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang