Dua Puluh Sembilan

131 17 0
                                    

Kondisi rawan typo!!!

Ibarat sudah terjatuh eh tertimpa tangga pula...
Sudahlah jomlo, teman pun tak punya...

***

Dulu mbak Raya, sekarang Yaya...

Satu persatu mereka meninggalkan status lajang dengan status baru, jadi istri. Lalu aku mulai gamang dengan hari-hariku dimasa depan. Selain mereka, tidak ada lagi yang ku klaim sebagai teman dekatku di kota ini. Teman boleh saja banyak, tapi tidak ada yang sedekat mereka.

Apalagi pengantin baru yang masih angat-angatnya pasti tidak bisa di ganggu, maunya pengen berdua saja. Kemana-mana sama suami.

Awal masuk kerja seminggu yang lalu mbak Raya memberitahu kalau dia ternyata sudah hamil lima minggu, yang artinya pergerakannya di luar akan berkurang. Apalagi anak pertama, biasanya suami akan sangat protektif.
Semua itu adalah kabar bahagia. Tapi andai mereka tau ada sudut tersembunyi dalam hatiku ini mengartikan sesuatu yang buruk.

Mengartikan itu sesuatu yang mengerikan.

Ini namanya sudah terjatuh eh ditimpa tangga pula. Sudahlah jomlo, eh teman pun nggak punya. Lagi-lagi pikiran yang sesat ini menyalahkan nasib. Begini amat!!

Masih ada satu sahabat, tapi....

Sahabat yang satu ini sukanya menyiksa. Menyiksa perasaan tepanya.
Benar kata orang. Tidak ada namanya sahabat 'murni' antara lawan jenis. Pasti ada satu pihak yang diam-diam memendam rasa. Kalau tidak pria ya si wanita. Aku sendiri contoh nyatanya....

Ngomong-ngomong soal sahabat, sejak seminggu yang lalu dimana Hilton yang bertemu pak Arga di kontrakanku malam itu, aku merasa ada sedikit yang berbeda dengan nya. Sampai hari ini dia hanya menelponku sekali saja, kemarin malam. Itupun tidak lebih dari 15 menit. Mengirim pesan hanya tiga kali. Yang pertama ngasih tau kalau dia sudah sampai di Singapore. Yang kedua itupun hanya balasan pesan yang ku kirimkan.

Dia berlagak aneh, padahal seharusnya akulah yang menghindar, tapi sebelum dia meninggalkan kontrakanku, kami sudah sepakat untuk melupakan masalah 'interaksi intim' itu. Lebih tepatnya usulanku. Dia hanya diam tidak berkomentar dan kuanggap dia setuju. Untuk itu aku berusaha kembali bersikap normal meski tidak bisa sepenuhnya. Antara kesal dan senang tapi sangat mengganggu konsentrasiku.

Dan lihat, sekarang justru dia yang bertingkah. Terakhir kami bicara di telpon malam lalu, dia lebih banyak diam. Lalu aku mulai penasaran dan memutuskan bertanya langsung, tapi ujungnya aku sendiri yang sakit hati.

"Dulu, sekecil apapun masalahmu tanpa aku harus nanya kamu udah duluan cerita. Sekarang kamu nggak kayak biasanya semenjak meninggalkan Jakarta. Dan aku nggak bakalan tau kalau kamu nggak cerita. Atau kamu udah nggak mau lagi berbagi masalah denganku? Katanya sahabat itu teman cerita paling aman. Aku masih sahabatmu, kan?"

Dan kalian tau apa jawabannya?

"Semua orang bisa berubah. Nggak selamanya aku selalu sama kayak dulu. Kamu sendiri juga berubah " suaranya datar dan menohok.

"Maksud kamu—kamu udah nggak kayak dulu? Kenapa—" Dengan ragu-ragu aku bertanya. "ada masalah sama kak Mei?"

Dia menghela nafas gusar mungkin kesal aku yang bertanya terus.

"Tidak semua yang aku rasakan aku harus ceritain ke kamu, Hana. Dan masalah Mei—kamu nggak usah ikut campur. Kami baik-baik aja."

Sungguh kalimat terakhir Hilton seperti menamparku keras. Aku nggak usah ikut campur...

Lalu kenapa dulu dia selalu cerita tentang kak Mei? Mei yang begini, Mei yang begitu. Lupa kalau dia yang minta bantuanku untuk mendekatkan mereka dulu?

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang