Sembilan

170 15 1
                                    

.
.
.
.

Sebulan sudah berlalu, semua masih berjalan seperti biasa. Semua masih sama dengan rutinitas yang membosankan. Kontrakan-kantor, kontrakan-kantor.

Masih setiap hari dengan orang-orang yang sama, mbak Raya, Yaya.

Oiya, kabar bahagia datang dari Yaya, dua minggu lagi dia tunangan sama Rio. Aku ikut bahagia walau kadang ada rasa tidak terima. Ngmembayangkan nanti Yaya akan sibuk sendiri sama seperti mbak Raya, dan—aku yang kemana-mana sendiri.

Hubungan ku dengan Hilton juga baik-baik aja. Komunikasi lancar jaya mengalahkan kaum ldr dimuka bumi ini. Cuma dia agak sibuk belakangan ini. Kadang kalau nelpon sudah tidak seperti dulu sampai sejaman. Sekarang paling lama 30 menit bahkan kadang cuma sekedar tanya kabar saja. Tapi yang paling penting dia selalu sempatkanme nelpon di sela-sela kesibukan nya. Mungkin ada diantara kalian yang merasa kalah? Atau iri punya pasangan tidak se-pengertian Hilton ini?


Kalau soal sifatnya masih sama, suka melarang, jangan begini-jangan begitu, dia dengan sikap kebapak-bapak-annya yang kadang membuatku kesal.

Mungkin bagi dia itu aku ini ibarat anak dibawah umur 17 tahun yang dilepas ditengah kota hidup sendiri. Yang tidak tahu apa-apa dan perlu diawasi.
Dia tidak sadar usiaku ini ibarat nikah sudah bisa menghasilkan keturunan yang bisa buat grup sepak bola.

By the way ngomongin umur, minggu depan genap usiaku 27 tahun, malas sekali sebenarnya menyebut angka ini. Kalian tau bagaimana aku bergarap setiap hari jam ini berputar lebih lama. Kalau saja Tuhan mau aku ajak mengulur-ulur waktu biar agak lama tiba ke minggu depan.
Aku tidak ingin 'sah' umur dua tujuh.


Sumpah! Itu angka keramat banget.

***

Aku mengetuk Pintu ruangan pak Radit dengan perasaan deg-degan.
Tadi Yaya datang ke ruanganku memberitahu kalau aku dipanggil pak Radit keruangan nya sekalian minta data penjualan PT. Raja Wali.

'Hati-hati kamu, Na. Itu pak Radit mukanya seram banget. Kayaknya lagi marah' Yaya memperingati.

"Pak"
Pak Radit menoleh. "Masuk!!" Dia berseru. Ah! Tidak salah lagi.

Masih di pintu tapi aku sudah bisa merasakan aura yang menyeramkan. Benar kata Yaya.

Aku berdiri di depan mejanya tapi pak Radit tidak nyuruh duduk sama sekali. Jadi aku tetap berdiri dengan lembaran kertas di tangan ku.

"Kapan terakhir pt. Rajawali melakukan pembayaran!" Dia bertanya sama sekali tidak ada tanda tanya. Lebih terdengar sepertimemerintah 'kerjain ini!'. Belum lagi matanya yang menatap kearahku membuat aku sedikit gugup, meskipun aku merasa tidak melakukan kesalahan.

"Sekitar sebulan yang lalu, pak" aku menjawab.

"Tapi solarnya sampe sekarang masih di kirim?" Dia masih duduk di kursi goyangnya sedangkan aku tetap berdiri.

"Ia, pak!"

"Berapa harga dari kita ke Rajawali?"
"Sembilan ribu lima ratus, pak" jawabku. Dia diam.

Harga sembilan ribu lima ratus itu termasuk harga tinggi apalagi saat harga solar turun seperti ini, makanya kantor kami tetap menyuplay Pt. Rajawali meski pembayaran nya kadang tidak tepat waktu. Seperti sekarang, sudah sebulan tidak ada pembayaran tapi solar tetap dikirim setiap ada permintaan dari pihak Rajawali.

"Sekarang berapa lagi sisa hutangnya?"

Aku membuka catatan yang aku bawa tadi.
"Sisanya 45ton, totalnya empat ratus dua puluh tujuh juta lima ratus ribu, pak."

Long distance Friendzone shitt !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang