"Mengapa rasanya sulit untuk memberikan kesempatan kedua? Bukankah semua orang berhak mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat sebelumnya?"
*****
Vira memegang gelas berisi susu cokelat hangatnya dengan erat. Ia memandang butiran air hujan yang jatuh melalui kaca jendela di sampingnya. Pikirannya sudah tak tentu arah saat ini. Ucapan Dean padanya saat di lapangan basket tadi, membuatnya semakin bingung saja.
Sentuhan pada bahunya membuatnya menoleh. Ia mendesah pelan tatkala melihat ketiga sahabatnya sudah berdiri di sebelahnya. Satu persatu dari mereka ikut duduk di atas ranjang bersama dengan Vira.
Saat ini, mereka sedang berada di kediaman Melia. Sepulang sekolah tadi, Vira merasa perlu menceritakan perihal ucapan Dean tadi kepada teman-temannya.
"Udah siap cerita?" Nadine membuka pembicaraan mereka. Ia kemudian melirik gelas susu di tangan Vira, yang isinya belum berkurang sejak ia memberikannya kepada Vira tadi. "Gue kasih lo susu cokelat, supaya lo bisa lebih tenang dan bisa cerita ke kita, Vir."
"Tau, nih, padahal gue bikinnya dengan penuh cinta. Malah nggak diminun sama lo." Luna memanyunkan bibirnya berlagak kesal.
"Rasanya kayak cinta bertepuk sebelah tangan gitu nggak sih, Lun? Kita udah capek berjuang, eh disia-siain gitu aja." sahut Nadine kemudian.
Entah mengapa Vira merasa ucapan Nadine bermaksud menyindir hubungannya dengan Dean saat ini. Karena selama ini memang Dean sudah berusaha sebisa mungkin agar hubungannya dengan Vira bisa membaik, paling tidak Vira mau berbicara lagi dengannya.
Namun, yang dilakukan Vira malah sebaliknya. Vira berusaha menjauh sebisa mungkin dari Dean. Membiarkan Dean berjuang memperbaiki hubungan sendirian, sementara dirinya?
Jangankan memperbaiki hubungan, berpikir untuk dapat berbicara dengan Dean pun ia tidak pernah.
Vira menghela napasnya berat. Sepertinya ia harus menceritakannya sekarang, mengingat Nadine yang sudah mulai memancing dengan cara menyindirnya tadi.
"Dean minta kesempatan kedua buat perbaikin semuanya." Akhirnya kalimat yang sejak tadi ditahannya keluar juga dari mulut Vira.
Respon dari ketiga temannya sama. Mereka semua tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Terlebih Melia, yang sejak tadi sibuk memperhatikan acara televisi di hadapannya, langsung berbalik menatap Vira tak percaya. Ia bahkan hampir menumpahkan telur gulung di piringnya saking terkejutnya.
"Serius, Vir?" tanya Melia setelah ia selesai dengan urusan telur gulungnya yang jatuh di kasur.
"Gue kira Dean udah pasrah dan lupain lo." celetuk Luna dengan nada sinisnya.
Melia dan Nadine hanya melirik Luna sekilas. Mereka sudah paham mengapa Luna bisa merespon seperti itu. Akhir-akhir ini, Luna menjadi makin membenci Dean sejak cowok itu berkali-kali menyakiti hati Vira.
"Terus lo jawab apa, Vir? Gue harap, lo nggak ngasih jawaban yang malah makin memperburuk keadaan." ujar Melia.
Vira menggeleng lemah. "Gue nggak jawab apa-apa."
Melia membelalakkan matanya terkejut. "Kenapa, Vir? Ah, gemes banget sih gue sama lo. Lo tuh tinggal jawab 'iya' gitu aja susahnya udah kayak apaan aja deh." Melia mengomel karena gemas dengan sahabatnya ini yang menurutnya terlalu bertele-tele.
Demi apapun Melia sudah bosan dengan drama percintaan Vira dan Dean yang tak berujung ini.
Nadine melotot ke arah Melia, mencoba memberi pengertian kepada gadis itu agar tak terlalu menekan Vira dalam mengambil keputusan. Nadine tahu, kalau sedang dalam keadaan seperti ini, jangankan untuk mengambil kepututusan, berpikir jernih saja sangat sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Feeling [COMPLETED]
Teen FictionKamu tahu bagaimana rasanya jatuh pada harapan yang kita ciptakan sendiri? Seperti naik rollercoaster. Setelah diterbangkan dengan tingginya, lalu dihempaskan begitu saja saat tahu harapan itu tidaklah nyata. Sakit? Sudah jangan ditanya. Pasti sakit...