"Kamu itu ibarat permen karet yang nempel di rok seragam sekolah, sepele tapi menyebalkan dan susah hilang."
Sinar matahari pagi yang menyilaukan mata tidak juga membuat laki-laki yang masih tertidur dengan nyenyaknya ini untuk membuka mata. Ia masih saja bergelut dengan selimut dan gulingnya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 09.30 pagi. Teriakan dari sang mama yang membangunkannya dari luar kamar juga tak kunjung membuatnya bangun.
Definisi hari minggu bagi Dean adalah Hibernasi. Ia akan memanfaatkan waktu liburnya dengan tidur seharian di kamar. Tapi mamanya selalu menggagalkan rencananya itu dengan membangunkannya di pagi hari seperti ini.
Niat mau tidur sampe sore, malah jam segini udah dilabrak suruh bangun. The power of mama.
"Dek! Kalo kamu nggak bangun juga, mama siram aer panas kamu nanti." ancam Devina, mama dari Dean dengan sadis. Ia sudah mengambil ancang ancang mendobrak pintu kamar anak laki-laki nya itu.
"Satu."
"Dua."
Dean mengacak rambutnya kesal. "Iyaa, Ma. Ini juga udah bangun."
Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, Dean akhirnya bangun dengan wajah yang memprihatinkan. Lingkaran hitam di sekitar matanya dengan belek yang juga masih menempel dengan indahnya. Bekas air liur yang mengering juga tampak di sekitar pipinya.
Siapa yang menyangka, cowok yang biasanya terlihat sempurna di sekolah, bisa terlihat menyedihkan saat bangun tidur.
Dean membuka pintu kamarnya dengan malas. Ia terkejut saat membuka pintu, hal pertama yang ia lihat adalah mamanya yang masih menggunakan baju tidur motif batik khas emak-emak dan roll di rambutnya sedang mengangkat sebuah panci berisi air.
"Waduh, beneran aer panas nih?" ucap Dean was-was dalam hati.
Devina menggelengkan kepalanya melihat kondisi anaknya. "Astaghfirullah, Dek. Kalo pacar kamu liat kondisi kamu bangun tidur kayak gembel gini, langsung diputusin sepihak kamu."
"Dean nggak punya pacar, Ma."
"Nah ini. Yang bikin kamu jomblo sampe sekarang tuh ya sifat kamu yang begini." Devina menunjuk-nunjuk kening Dean menggunakan telunjuknya.
Dean menyenderkan tubuhnya di pintu kamarnya, ia masih memejamkan matanya, membiarkan mamanya berceloteh ria sesuka hati. Percuma saja ia mencela semua omongan yang keluar dari mulut mamanya, karena mamanya menganut prinsip perempuan jaman sekarang, bahwa Perempuan selalu benar.
Devina berdecak melihat kelakuan anak laki-laki di depannya ini. Sejak dulu sifat anaknya itu tidak pernah berubah.
"Ada apaan sih, Ma?" tanya Dean masih dengan mata terpejam.
"Melek, Dek. Kamu kayaknya emang pengen disiram aer panas ya?" ancam Devina sambil mengangkat kembali pancinya. Membuat Dean terpaksa membuka matanya.
"Kamu ditunggu Vira di bawah. Cepetan mandi sana."
Dean mengernyit bingung. Untuk apa Vira datang kesini? Nagih hutang? Perasaan gue nggak punya hutang deh sama tuh orang. Pikir Dean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Feeling [COMPLETED]
Teen FictionKamu tahu bagaimana rasanya jatuh pada harapan yang kita ciptakan sendiri? Seperti naik rollercoaster. Setelah diterbangkan dengan tingginya, lalu dihempaskan begitu saja saat tahu harapan itu tidaklah nyata. Sakit? Sudah jangan ditanya. Pasti sakit...