"Apakah mengalah harus sesakit ini rasanya?"
***
Di sebuah kamar bernuansa hello kitty, seorang gadis sedang duduk sambil memeluk gulingnya. Air matanya pun tak henti-hentinya menetes dari pelupuk matanya.
Sudah sejak pulang sekolah satu jam yang lalu, ia menangis tanpa suara sambil terus mengingat kejadian di sekolah sebelum ia pulang ke rumahnya.
Tadi, sebelum ia pulang ke rumah, ia menyempatkan diri untuk mencari seseorang yang akhir-akhir ini memang telah mengisi hatinya. Dean. Ia ingin mengajak cowok itu menonton film terbaru yang baru saja rilis minggu ini.
Pencariannya terhenti kala ia melihat dua orang yang sangat familiar baginya sedang bicara di dalam ruang loker. Dari dua orang itu, salah satunya adalah Dean. Karena penasaran, ia sengaja berdiri di depan pintu masuk ruang loker. Hal itu dilakukannya untuk menguping pembicaraan mereka.
"Gue cuma mau ngelindungin Vira supaya nggak sakit hati karena lo bukan cuma suka dan sayang sama dia aja. Tapi sama Risa juga." ucap orang yang ia ketahui adalah Eza.
Ia menelan salivanya dengan susah payah kala namanya juga ikut disebut dalam pembicaraan itu. Topik pembicaraan mereka sepertinya sangat menarik baginya. Ia mempertajam pendengarannya kali ini, ingin tahu lebih jauh lagi mengenai pembicaraan mereka.
"Alasan lo!" Dean langsung memberikan satu bogeman di pipi kiri Eza. Hal itu membuat Eza jatuh tersungkur sambil terus memegangi pipinya. "Lo boleh ambil Kak Dinda dari gue, Za. Tapi untuk kali ini, gue nggak akan biarin lo ambil Vira dari gue! Gue nggak akan ngalah lagi untuk yang satu ini, Za."
Gadis itu reflek menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya. Dadanya terasa seperti dihujani ribuan duri panas saat ini. Sakit. Itulah yang ia rasakan saat mendengar Dean berucap seperti itu.
Melihat Dean akan segera keluar, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu dan berlari keluar gedung sekolah. Ia harus segera pulang, karena rasanya matanya kian memanas dan air matanya seakan ingin tumpah saat itu juga.
Gadis itu, Risa, terus-terusan menangis sambil terus memukul gulingnya yang ia jadikan pelampiasan emosinya. Matanya sudah terasa sakit karena terlalu lama menangis, tapi ia tidak peduli, ia ingin menangis sampai rasa sakit itu hilang.
Ingin rasanya ia marah, tapi ia harus marah pada siapa? Haruskah ia marah kepada Vira, atau haruskah ia marah dengan Dean? Atau ia harus marah pada perasaannya saja, yang sudah dengan bodohnya menganggap perhatian lebih Dean padanya adalah bentuk rasa suka cowok itu?
Aaarrgghhhhh! Menangis berjam-jam nyatanya tak membuat Risa merasa lega. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, walaupun agak sulit, karena ia juga masih sesenggukan.
"Mau sampe kapan nangis kayak gini?" Risa lantas mendongak ke arah suara yang berasal dari pintu kamarnya. Eza sedang berdiri di sana, sebelum kemudian berjalan memasuki kamarnya. Risa hanya melirik sepupunya itu sekilas.
"Gue tau, lo tadi nguping pembicaraan gue sama Dean." kata Eza lagi. Risa sendiri hanya semakin mempererat pelukannya pada gulingnya itu. Ia tidak berniat merespon ucapan Eza.
Eza menghela napasnya berat. "Ribet ya, Ris. Gue suka sama Vira, Vira suka sama Dean." Eza menghentikan kalimatnya untuk melirik Risa sekilas. "Dan Dean, masih belum jelas sebenernya hatinya buat siapa." lanjutnya lagi.
"Udah jelas, Kak. Dean suka sama Vira."
"Siapa yang tau kalo itu cuma emosi sesaatnya aja karena takut gue rebut Vira?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Feeling [COMPLETED]
Ficção AdolescenteKamu tahu bagaimana rasanya jatuh pada harapan yang kita ciptakan sendiri? Seperti naik rollercoaster. Setelah diterbangkan dengan tingginya, lalu dihempaskan begitu saja saat tahu harapan itu tidaklah nyata. Sakit? Sudah jangan ditanya. Pasti sakit...