"Lantas, aku harus menyalahkan siapa dalam masalah ini? Haruskah aku menyalahkan takdir? Atau, aku harus menyalahkan perasaanku yang terlalu mudah berharap pada rasa yang semu?"
***
Lagu Cinta Salah milik Caitlin Halderman mengalun dari handphone yang berada di tangan Luna. Entah sudah berapa kali lagu itu diputar olehnya, karena sejak sekitar sepuluh menitan, Luna hanya memutar lagu itu tanpa berniat menggantinya.
"Lun, lo kalo dengerin lagu tuh liat situasi, kek." komentar Nadine sambil mengusap pundak seorang gadis di sebelahnya.
Luna mengernyit dengan polosnya. Polos-polos minta ditabok ini sih. "Memang kenapa sih, Nad? Lagunya enak, kok."
"Lo nggak liat apa, Vira lagi kayak gini, lo malah dengerin lagu yang liriknya pas banget buat keadaannya." balas Nadine sambil melirik kepada gadis yang sedang menangis di sebelahnya.
Melia yang sudah geram pun langsung mengambil ponsel Luna, dan mematikan lagu tersebut. Luna hanya bisa pasrah ketika ponselnya sudah diletakkan Melia di atas nakas di samping tempat tidur.
Tatapan Luna beralih kepada Vira. Ia menatap sahabatnya itu sembari menghela napasnya dalam. "Vir, udahan dong nangisnya."
"Iya nih, lo nggak capek apa nangis mulu? Udah satu jam lebih lima menit lho, Vir." timpal Nadine sembari mencoba menegakkan posisi duduk Vira yang semula menyender di pundaknya.
Seolah tak peduli dengan sahabatnya, Vira tetap saja menangis. Entahlah, rasanya air matanya tak ingin berhenti keluar membanjiri pipinya yang sudah basah. Ia terus menangis sampai sesenggukkan, seolah dengan keluarnya tetesan demi tetesan air matanya itu, bisa mewakili bahwa yang dirasakannya saat ini lebih dari sekedar sakit hati.
"Vir, udah ya? Nanti kepala lo sakit kalo nangis terus." ujar Nadine mengingatkan.
"Nad, udah biarin aja, nggak usah dipaksa." sela Melia.
"Tapi kan, Mel--"
"Lo tau kan, Vira kalo udah nangis kayak gini tuh susah buat berhenti. Dia bakal terus nangis sampe dia ngerasa bener-bener lega." potong Melia langsung. Ia sudah tahu kebiasaan Vira yang tidak akan berhenti menangis sampai cewek itu merasa lega.
Sekalipun setelah menangis nanti, Vira pasti akan mengeluhkan kepala dan matanya yang sakit karena terlalu lama menangis.
"Emang brengsek banget si Dean. Seganteng apa sih dia, sampe tega nyakitin Vira gini." ucap Luna tiba-tiba. Keluar dari topik pembicaraan sebelumnya.
"Kita nggak bisa salahin Dean sepenuhnya juga, Lun." Luna dan Melia menatap Nadine tak percaya. Bagaimana bisa Nadine masih membela Dean, disaat cowok itu sudah membuat hati sahabatnya terluka.
Nadine menaikkan kedua bahunya. "Karena dalam hal ini, Risa juga salah. Kenapa setelah dia bilang bakal lepas Dean buat Vira, dia justru balas pelukan Dean?" tanya Nadine sarkastis.
"Dasar ular." cibir Melia kesal. Yang ditimpali kekehan dari Luna.
"Dean udah tau belum sih, kalo lo suka sama dia?" tanya Luna pada Vira kemudian. Ia sangat penasaran dengan hal yang satu ini.
Vira mendongak dan menyenderkan tubuhnya pada sandaran tempat tidur sembari menghapus sisa air matanya. Ia menghela napasnya pelan, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Kalo Risa? Dia udah tau?"
"Udah." jawabnya dengan suara parau, khas orang habis menangis.
"Lo yang kasihtau?" tanya Nadine. Vira menggelengkan kepalanya pelan. Karena ia juga merasa, tidak pernah memberitahu perihal perasaannya kepada Dean secara terang-terangan pada Risa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Feeling [COMPLETED]
أدب المراهقينKamu tahu bagaimana rasanya jatuh pada harapan yang kita ciptakan sendiri? Seperti naik rollercoaster. Setelah diterbangkan dengan tingginya, lalu dihempaskan begitu saja saat tahu harapan itu tidaklah nyata. Sakit? Sudah jangan ditanya. Pasti sakit...