"Aku belum tahu apakah aku jatuh cinta kepadamu, atau ke perasaan yang bisa kamu tawarkan?"
Keheningan menyeruak di dalam mobil berwarna putih yang sedang dikemudikan Eza, dengan Vira duduk di sebelahnya. Sibuk memainkan ujung tali tas ranselnya yang masih menempel di punggungnya.
Setelah perdebatan yang cukup singkat dan kebimbangan Vira untuk pulang ke rumah bersama siapa, akhirnya ia memutuskan untuk pulang bersama dengan senior nya itu. Ia memilih hal tersebut bukan tanpa alasan tentunya.
Pertama, ia merasa tidak enak jika harus ikut bersama Dean yang juga akan mengantarkan Risa. Kedua, cewek itu juga merasa ada yang harus ia tahan jika harus pulang bersama dengan kedua orang itu. Entah apa, perasaan mungkin?
Yeu, yakali. Vira masih belum mau ngaku kalah kok.
"Kiri, Kak." perintah Vira kepada Eza yang sedang fokus menatap jalanan di depannya.
"Belok lagi?"
"Iya,"
"Jalanan kompleks lo ribet amat sih, puyeng gue daritadi mutar muter nggak nyampe-nyampe." ucapnya frustasi.
Vira terkekeh. "Tolong ya.. siapa juga yang tadi kekeuh mau nganterin saya pulang."
"Yeee bocah!" Eza menoyor kepala Vira dengan tangan kirinya. "Mana gue tau kalo rumah lo sejauh dan seribet ini jalannya."
Vira mencoba menahan tawanya. Namun sia-sia, tawanya pecah melihat ekspresi kesal dari kakak kelasnya yang memang lebih dikenal dengan julukan Ice Prince di sekolahnya itu.
Ketika mobil yang mereka kendarai melewati sebuah rumah dua lantai, Vira menepuk bahu Eza. "Pagar merah, Kak."
Helaan nafas lega terdengar dari mulut Eza. "Akhirnya sampe juga,"
"Itu rumah RT saya, Kak."
"Astaghfirullah gue mah, Vir." ucap Eza kesal.
"Maksud saya, dari situ tuh belok kanan lagi."
Eza kembali mendengus kasar.
Selanjutnya, Vira kembali diam. Namun dalam hatinya, ia bersorak karena berhasil mengerjai kakak kelasnya itu. Siapa suruh maksa Vira buat gantiin Risa, makan tuh balas dendam dari Vira. Pake nasi kalo perlu, biar kenyang.
Diam-diam ia tersenyum, memperhatikan figure orang yang lebih dikenal kaku dan dingin oleh siswa di sekolahnya. Baru kali ini ia bisa melihat berbagai ekspresi dari cowok di sebelahnya ini.
Vira bergumam sebentar. Ia menunjuk sebuah rumah dua lantai yang mempunyai halaman cukup luas. Halaman tersebut cukup teduh karena ditanami beberapa pohon dan tanaman hias lainnya. "Itu, Kak. Pagar hitam,"
"Rumah RW? Lurah? Apa Camat lo?"
Tawa cewek itu pecah. "Nggak, kok. Itu beneran rumah saya,"
Mobil yang dikendarai oleh Eza itu pun berhenti tepat di depan rumah Vira. "Seneng banget kayanya udah berhasil ngerjain gue," decaknya kesal.
"Kan kakak sendiri yang mau nganterin," balas Vira dengan nada mengejek.
"Idih, bukannya bilang makasih juga."
"Oke, makasih, Kak." Vira bersiap meninggalkan Eza. Namun ia kembali bicara sambil menepuk bahu cowok itu. "Tau nggak, Kak?"
Kerutan di dahi Eza muncul. Ia diam menunggu Vira melanjutkan kalimatnya.
"Kakak mirip sama driver gojek yang kemarin nganter nyokap ke pasar,"
Tawa puas menggema sore itu. Membuat senja kali ini terasa berbeda dari senja sebelumnya bagi Eza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Feeling [COMPLETED]
Ficção AdolescenteKamu tahu bagaimana rasanya jatuh pada harapan yang kita ciptakan sendiri? Seperti naik rollercoaster. Setelah diterbangkan dengan tingginya, lalu dihempaskan begitu saja saat tahu harapan itu tidaklah nyata. Sakit? Sudah jangan ditanya. Pasti sakit...