empat

31K 1.2K 4
                                    

Kesya pov

Aku menarik nafas dengan dalam lalu menghembuskan nya dengan pelan, berjalan keluar pagar kontrakan yang Alfaro berikan padaku dua tahun silam dengan pelan.

Ini sudah dua minggu semenjak insiden di rumah Alfaro kala itu kami tak lagi bertemu, bahkan yang ku ketahui tak ada tanda-tanda Alfaro akan berusaha meminta maaf.

Aku berharap ini bukanlah akhir dari segalanya, bagaimana pun aku sangat mencintai Alfaro. Pria tampan namun dingin itu, aku sangat mencintainya.

Sampai di depan gang jalan umum, aku membuka aplikasi online ku di halte yang sudah di sediakan pemerintah.

Tak lama ponselku melayang ke atas, aku mendongak menatap pria tampan itu dengan dalam.

Alfaro, dia di depanku sekarang.

"Ayo masuk" Katanya dingin, lalu tanpa menolak atau mengelak aku ikut masuk kedalam mobil mewah miliknya.

Di dalam mobil kami hanya diam tanpa ada yang membuka suara, tak lama kemudian sampailah kami di apartemen mewah milik Alfaro di salah satu kota Jakarta.

"Kesya mau kerja, bukan kesini" Ucapku menatap luar jendela tanpa berniat membuka pintu.

"Turun!" Titah Alfaro dengan sangat tajam.

"Ga mau, aku mau kerja. Nyari uang"

"Butuh berapa, hah?"

Aku menghela nafasku dengan kasar, tanpa babibu aku keluar dari dalam mobilnya dan berjalan dengan cepat menuju lobby apartemen.

Iya, aku berniat kabur.

Baru akan menyetop taxi Alfaro menarik kembali lenganku dengan kasar dan membawaku masuk kedalam gedung apartemen miliknya tanpa mengendahkan tatapan heran pemilik kamar juga karyawan yang menunduk hormat pada Alfaro.

Aku mendengus dengan kesal, menghentakkan kakiku dengan sangat marah lalu masuk dengan cepat kedalam apartemen mewah Alfaro yang selalu nampak rapih

"Duduk" Suruhnya yang langsung kuturuti tanpa suara.

Ia berjalan kearah dapur, aku menghembuskan nafasku dengan lega lalu memejamkan mataku dengan erat.

"Tuhan, kenapa se-menyesakkan ini " Lirih ku seperti berbisik.

"Ini minum" Alfaro duduk disampingku, aku duduk dengan tegak kembali lalu meminum coffe cappuccino buatannya yang sangat aku suka.

"Thanks" Gumamku sangat pelan.

Tak lama aku melihat ia mengambil sebuah pisau kecil untuk memotong buah di meja, lalu memainkan nya di kulitnya yang putih.

Aku menahan nafasku ketika ia dengan santai menatapku sambil memainkan pisaunya.

"Kamu apa-apaan si? Lepasin itu pisaunya!" Kataku dengan sangat panik.

Ia tersenyum kecut "Lo nyuekin gue sih"

Aku memilih diam sambil memainkan jariku dengan menunduk dalam, itu memang kenyataannya.

Aku menyuekinya tanpa berniat mengendahkan Alfaro, aku kecewa tentu saja

"Lo ga bales chat gue"

Aku masih diam.

"Ngomong"

Aku mendongak menatapnya yang sedang menyayat kecil kulit tangannya, aku spontan melotot tak percaya.

"Lepas al, kamu gila!" Bentakku ketakutan.

"Iya, karena lo jauhin gue" Aku semakin terisak, aku senang ia berbicara lebih banyak namun aku tak Ingin dalam kondisi sulit seperti ini.

"Lo tetap jauhin gue.."

"Al, aku.. "

"Atau, gue bunuh diri"

Ucapnya semakin menjadi menyayat tangannya membuat darah keluar banyak dari tangannya yang mulus.

Aku menggeleng, bingung harus apa. Aku tak ingin dia melukai dirinya sendiri karena diriku, namun aku juga tak mau menjalani hubungan dengan alur yang tidak jelas

Setidaknya aku butuh penjelasan

Walaupun aku tau ini kekanakan, aku belum tau siapa gadis itu. Namun tatapan bunda saat itu membuat aku memiliki fikiran negatif pada hubungan gadis cantik itu dengan Alfaro.

Aku mendengar ia meringis dengan pelan, aku menoleh dengan cepat lalu melempar pisau yang sedang memotong urat nadi itu dengan kencang.

Aku memeluknya dengan erat, tangisku pecah ketika ia tergolek lemah di pundakku.

"Kamu emang gila" Kataku berteriak lalu memukul punggungnya dengan keras.

Ia menciumi leher ku dengan pelan "Ya, itu karena lo" katanya dengan ringisan.

"Tapi kamu ga perlu nyakitin diri kamu gini kan al? Maksudnya apa coba!"

"Obatin sebelum gue mati" Titahnya memelukku dengan erat, aku tau maksud ia apa namun aku juga tau bahwa ia malu mengungkapkan.

"Lepasin dulu, sini aku obatin" Kataku, pasrah.

Bagaimana pun semua orang berhak mendapat kesempatan kedua.

Ia melepaskan pelukannya dengan pelan lalu menyender pada kepala sofa dengan lemah.

Aku berjalan mengambil kotak P3K yang tersedia, dengan pelan namun telaten aku mengobati lukanya. Sesekali Alfaro meringis pelan, aku tersenyum tipis ketika melihat bagaimana Alfaro memegang erat pinggangku seakan aku akan pergi lagi.

"Sudah, untung aja ga dalem lukanya"

Aku membereskan bekas pengobatan luka Alfaro lalu menaruhnya di tempat awal dan kembali padanya yang menatapku dengan tatapan penuh arti.

"Ngantuk" Adunya dengan datar, namun aku tau maksudnya.

Aku tersenyum tipis dan menggandeng lengannya agar mau tiduran di karpet bawah ruang tamu, ia menuruti dan langsung merebahkan tubuhnya di ikuti olehku yang langsung ia dekap dengan erat .

"Berani?"

Aku mendongak menatap wajah tampannya yang sangat aku rindukan "Apa?"

"Kabur lagi"

Aku terkekeh, sumbang "Selagi kamu baik, aku ga akan ngejauh atau pun kabur. Jadi, semua tergantung sikap kamu Alfaro jelek" Kataku mencubit gemas pipinya.

Ia masih memejamkan matanya lalu menyerukan wajanya pada dadaku dengan pas, lalu mengeratkan pelukannya dan bergumam dengan tidak jelas.

"Kamu bicara sesuatu?" Kataku mengelus rambutnya dengan sayang.

Ia mengangguk dengan cepat "Bicara apa?"

Ia mendongak sebentar, mengecup pipiku dengan cepat lalu mengucap kan kata dengan sangat cepat namun masih bisa terdengar sebelum ia menyerukan wajahnya pada dadaku kembali.

Kalimat yang membuatku membulatkan tekat untuk memberinya kesempatan kedua, dengan apa yang ia lakukan tadi dan kalimat yang ia ucapkan barusan

"Jangantinggalingue"

Alfaro memang pria dinginku yang terkadang manis.

---

Alfaro ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang