Semakin tidak nyaman, semakin kesal, dan semakin menyebalkan. Kiranya itulah yang Ify rasakan saat ini mengenai sosok Rio. Pemuda itu sedari tadi seakan seperti bayangan baginya.
Pertama. Ify pikir, setelah Sivia kembali dari masjid, Rio akan pergi. Ya memang Rio pergi untuk sholat juga ke masjid. Tapi setelah itu, tiba-tiba Rio muncul di hadapannya saat ia sedang menikmati nasi rames kesukaannya.
Kedua. Saat masuk kelas, Rio tiba-tiba duduk di belakangnya. Bahkan tak jarang Rio menepuk bahunya dengan pena untuk bertanya sesuatu yang tidak penting.
"Ngantuk, Fy?"
"Mau ke toilet, nggak? Bareng, yuk?"
"Bulu mata lo jatuh tuh."
"Satu tambah satu sama dengan dua. Aku dan kamu saling cinta eaa."
Meski semua itu bisikan, tapi Sivia yang duduk di samping Ify, turut mendengarnya. Alhasil Sivia yang bersuara dengan menyuruh Rio untuk tidak berisik. Sementara Ify, menulikan telinganya dari kicauan Rio yang memang menurutnya tidak penting sama sekali. Karena setelahnya, Rio kembali menggoda Shilla dengan semua candaan jayusnya ketika kelas mulai legang saat sang dosen telah menyelesaikan tugasnya. Shilla yang memang terlihat menyukai Rio juga hanya senyum-senyum malu. Dan itu membuat semua anak di kelasnya mengira bahwa Rio sedang mengejar gadis itu
"Shill, mau kemana?" tanya Rio setengah berseru. Tak bergerak dan masih duduk di tempatnya.
Shilla baru saja melangkah, dia berhenti dan menoleh dengan seulas senyum malu. Pasalnya karena seruan Rio itu, kini dia menjadi pusat perhatian. Selain tak ada hal yang mereka kerjakan, hampir setiap Rio berulah pasti mampu mencuri perhatian semua anak.
"Toilet. Kenapa?" tanya Shilla balik berusaha menyembunyikan salah tingkahnya.
"Oh, nitip, ya?"
"Nitip apa, yo? Lo mau pipis di plastik?" tanggap Patton, yang kontan membuat seisi kelas tertawa. Ify juga tertawa kecil bersama Sivia. Merasa sudah menjadi hal wajar dengan tingkah aneh Rio dan semua teman-teman laki-lakinya.
"Ya nggak lah."
"Terus?" Sahut Patton lagi.
"Nitip pesan buat siapapun yang lihat lo nanti jangan sampai terpesona." Shilla terlihat bingung, namun itu tidak menutupi rona merah di kedua matanya.
"Karena?" kali ini giliran Dedi yang berbicara.
"Itu berarti mata mereka buta."
"Rio!" pekik Shilla kesal. Sementara tawa semua anak semakin menggelegar. Tak terkecuali, Ify yang kini terlihat cantik di kedua mata Rio.
"Canda, Shil. Ya udah, gih lanjut jalannya." Ujar Rio mempersilahkan.
"Di anter dong, Yo." Kata Gilang, bersiul jahil.
"Boleh, nih?" Sahut Rio sok semangat.
"Bolehlah, tuh muka Shilla aja udah kayak pengen lo kawinin." Terang Wisnu yang lagi-lagu menciptakan tawa seisi kelas.
"Yaelah lo pada ribet amat dah. Itu Shilla kasihan kali." Sivia menyela dari tempat duduknya.
"Cemburu bilang." Seru Rio menoel bahu Sivia.
"Kagak dih. Ngapain gue cemburu sama tukang modus kayak lo."
Rio terkekeh, lalu menoleh ke Ify yang diam saja daritadi. "Lo nggak cemburu juga, Fy?"
Asli sih, saat itu, Ify rasanya ingin memuntahkan semua makanannya dari dalam perut.
Ketiga. Kini, dia harus duduk satu meja dengan Rio. Ya, akhirnya Ify menemani Sivia yang sekarang tengah bertemu dengan Rio dan juga Alvin. Jujur, Ify merasa canggung dengan situasi ini karena pada dasarnya dia memang tidak dekat dengan mereka berdua. Ify bukanlah, Sivia yang mudah berbaur dengan lingkungan baru. Maka sedari tadi, dia hanya diam, sesekali tersenyum mendengar perdebatan antara Sivia dan Rio. Atau saat Sivia menggoda Alvin. Sebenarnya Alvin itu bukan pendiam, hanya saja dia memang anaknya sedikit pemalu dan susah untuk memulai percakapan. Berbeda sekali dengan Rio yang apa saja bisa ia jadikan bahan untuk omongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Rasa (New Version)
Teen FictionSaat aku menatap langit di siang hari, di sana aku bisa melihat terik sang surya menyerang ke dua mataku. Seolah memberi perlindungan pada awan putih agar tak setiap orang bisa menikmatinya dengan jelas. Dan itu membuatku berpikir, mungkin aku jug...