36. Jangan Pergi

1.8K 168 64
                                    


Rio segera melepas helmnya setelah memarkirkan motornya dalam basement. Sebuah apartemen, kiranya itulah alamat yang Rio terima. Rio yakin, orang ini benar-benar pintar dan sudah sangat mempersiapkan diri merencanakan hal ini. Terbukti, dia bisa menyekap seseorang di tempat yang sangat mudah di lacak oleh polisi. Jadi, tidak mungkin orang itu bergerak seorang diri. Pasti, ada yang membantunya.

Rio tampak bingung harus masuk dengan cara apa sementara dia tidak memiki kartu akses untuk membuka pintu menuju lift yang ada di balik pintu kaca di hadapannya. Rio menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada orang sama sekali, pegawai atau penghuni di apartemen ini. Siapapun itu, tolong! Rio memejamkan matanya. Memohon dengan sangat. Memohon dengan seiring detak jantungnya yang berdentum cepat karena rasa takut menyeruak di seluruh tubuhnya.

"Rio?"

Tepukan di bahunya membuat kedua mata Rio terbuka. "Lo?" Seru Rio kaget dan juga tak percaya.

"Siapa?" tanya Rio kemudian. Bingung kenapa bisa orang ini tahu namanya.

"Revan." Revan tahu Rio karena sering melihat pemuda ini saat menjemput Ify.

Rio membeo. "Lo tinggal di sini?" tanya Rio cepat. Tak banyak waktu untuknya mencari ribut dengan orang ini.

"Iya."

"Ya udah buruan buka." Perintah Rio seenaknya.

Revan mengangguk lalu menuruti perintah Rio. Begitu pintu terbuka, Rio langsung masuk dan menekan tombol lift. Butuh waktu lagi, Rio harus menunggu. Dia melihat jam di tangannya. Waktu yang menunjukkan tinggal lima menit lagi dia harus sampai di tempat itu.

TING

Pintu lift terbuka. Dengan segera, Rio masuk begitu juga Revan yang hanya diam. Meski penasaran juga melihat sikap Rio yang tampak aneh sekali. Revan menelan angka 20, sementara Rio menekan angka 18. Hanya keheningan yang ada di tempat ini. Karena Rio juga sama sekali tak berniat untuk membuka suara. Sampai pintu lift kembali terbuka di lantai tujuan Rio. Secepat kilat Rio berlari keluar. Mencari nomor kamar yang tertera di pesan tadi.

23

Rio berhasil menemukan tempat itu. Berhenti tepat di depan pintu, Rio menarik nafas panjang. Menguatkan diri, melihat keadaan Ify yang mungkin tidak sanggup ia terima. Dengan satu tarikan nafas, Rio menekan bell interkom yang terletak di samping pintu. Tak lama, pintu terbuka. Tanpa pikir panjang, Rio masuk dan langsung terjatuh ketika sebuah benda keras menghantam kuat punggungnya.

Nino tersenyum puas. Kemudian tertawa melihat Rio jatuh pingsan di hadapannya. Bersiul, Nino meraih kerah baju jaket Rio seraya menyanggah tongkat baseball di bahunya. Lalu, menyeret tubuh Rio ke hadapan Ify yang sudah ia ikat kedua kaki dan tangannya. Mulut Ify bahkan sudah di bungkam menggunakan lakban. Sehingga membuat gadis itu hanya bisa mengeluarkan air mata tanpa isakan melihat keadaan Rio. Takut, cemas, khawatir semua berkumpul menjadi satu. Sekuat tenaga Ify berusaha bergerak, melepas ikatan kaki dan tangannya yang sama sekali tak berefek.

Nino menghembuskan nafasnya. Kemudian duduk di samping Ify. Kedua mata Ify lantas menajam, melawan Nino dan menunjukkan dia sama sekali tak takut. Entah darimana keberanian itu muncul, dan sejak kapan dia menjadi pemberani seperti ini. Ify tidak peduli, karena yang ada dalam pikirannya sekarang adalah keselamatan Rio.

"Kenapa, cantik? Mau ngomong?" Nino tertawa karena Ify hanya bisa menyalangkan tatapan padanya.

"Coba mau ngomong apa, sini abang denger." Nino mendekatkan wajahnya. Membuat Ify mempunyai kesempatan untuk menghantam rahang pemuda itu dengan kepalanya.

"Kurang ajar!" geram Nino murka. Bersiap menampar wajah Ify. Namun sebuah tangan menahannya dengan cukup kuat. Nino menyeringai, kemudian menghempaskan cekalan Rio hingga membuat pemuda itu terjatuh lagi.

Seputih Rasa (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang