Rio sudah mengemasi semua barang yang ia butuhkan. Tidak semua barang ataupun baju, hanya yang sekiranya ia butuhkan saja. Karena Rio sudah bertekad untuk memulai kehidupannya dari awal lagi. Dia, tidak mau terus-terusan menjadi anak manja yang bergantung pada kedua orang tuanya. Dan tinggal bersama kakek adalah pilihan yang tepat untuknya saat ini.
"Nak. Kamu yakin mau tinggal sama kakek?" tanya Lisa sangsi. Mengingat bagaimana kehidupan sang ayah yang tidak mau menerima bantuan apapun dari anak-anaknya. Yang mengartikan bahwa, Rio benar-benar akan hidup jauh dari kemewahan.
Rio mengangguk seraya memakai tas punggungnya. Dia tersenyum, berjalan mendekat pada sang mama yang kini menatapnya di ambang pintu.
"Rio yakin, ma. Rio mau belajar mandiri, dan menebus semua kesalahan yang udah Rio lakuin pada seseorang."
Lisa berjalan mendekat. Kemudian memeluk putra satu-satunya. Dia tidak bisa mencegah keputusan Rio. Karena Davin, menyuruhnya untuk tidak melakukan apapun. Membiarkan Rio melakukan apa saja yang di inginkan. Davin paham betul bagaimana watak Rio yang semakin di larang justru semakin memberontak.
"Bagaiamana dengan Lani?" tanyanya tanpa melepaskan pelukan.
Rio menarik nafas, kemudian menghelakan secara perlahan. "Rio yang akan bicara sama dia."
"Pertunangan kalian?"
"Rio serahkan semua di tangan dia."
Lisa mengangguk. Menarik diri, kemudian mengulurkan kedua tangannya untuk merapikan rambut sang putra tercinta.
"Lakukan apapun yang bisa buat hatimu membaik. Mama di sini akan selalu mendoakan kamu, sayang."
Rio mengangguk, memeluk sang mama. Mencari ketenangan yang mungkin sebentar lagi tidak akan pernah ia dapatkan. "Makasih, ma. Rio sayang sama mama."
"Jangan terlalu lama bersedih, sayang. Kamu memang bersalah saat itu. Tapi, kamu juga nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua salah mama dan papa yang merahasiakan dari kamu."
"Nggak. Semua jelas salah Rio, ma."
"Sayang." Lirih Lisa cemas. Tak tega mendengar nada bicara Rio yang selalu usil, kini penuh akan kesedihan.
"Kamu beneran pergi, demi gadis itu?"
Rio sontak melepas pelukan mamanya. Pandangannya terfokus pada sosok Lani yang berdiri di ambang pintu dengan air mata berderai. Dia lantas meraih tangan Lani, lalu di genggamnya. Menarik Lani, agar gadis itu mengikuti langkahnya menuju balkon di sisi kanan rumah. Sesampainya di sana, Rio melepaskan tangan Lani, lalu beralih memeluk gadis itu. Guna menentramkan hatinya yang gundah. Atau menyalurkan rasa rindu yang sebentar lagi tak bisa ia lakukan. Meski sedikit, cinta untuk Lani, masih ada dalam hati Rio.
"Jangan pergi. Aku mohon!" pintanya merajuk dalam tangis di tengah Rio yang kini mendekapnya.
Mengeratkan pelukannya, Rio mencium puncak kepala Lani. Sebagai tanda dia menyesal telah menciptakan luka di hati kekasihnya ini. "Sorry, dear. Aku bener-bener harus pergi."
Jawaban Rio, membuat Lani mendongakkan kepala, tanpa menarik kedua tangannya yang melingkar erat di pinggang Rio. "Terus aku, gimana? Kamu tega, ninggalin aku?" rajuknya.
Seraya menghapus air mata Lani, Rio menghela. "Aku nggak ninggalin, kamu. Kalau kamu masih tetep mau bertahan aku, kita tetap bersama."
Rio menjeda sejenak ucapannya, dia tidak yakin jika Lani menerima keputusannya. "Tapi, mungkin untuk kedepannya, kehidupan aku, nggak sama lagi. Aku akan lepas dari papa dan mama. Memulai semua sendiri dari awal. Yang itu berarti, aku nggak akan bisa penuhi semua keinginan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Rasa (New Version)
Teen FictionSaat aku menatap langit di siang hari, di sana aku bisa melihat terik sang surya menyerang ke dua mataku. Seolah memberi perlindungan pada awan putih agar tak setiap orang bisa menikmatinya dengan jelas. Dan itu membuatku berpikir, mungkin aku jug...