Seringan apapun pekerjaan itu, pasti membutuhkan tenaga. Punggung dan kaki Ify rasanya hampir rontok karena tadi restoran lumayan ramai. Berdiri di belakang meja kasir tanpa sempat duduk, karena pengunjung yang terus berdatangan silih berganti. Tapi, sedikitpun Ify tidak merasa ingin berhenti dari pekerjaan itu. Karena Ify cukup bersyukur di ijinkan bekerja di sana seusai dengan jadwal kuliahnya. Gaji yang mungkin tak seberapa, tapi lumayan buat Ify mencukupi kebutuhannya sekaligus menabung. Menyisikan sebagian uangnya untuk biaya kuliah saat akhir menjelang ujian akhir semester.
Rio mungkin sudah sering menawarkan diri untuk membiayai kuliah Ify. Bahkan Rio sampai meminta Lisa untuk menyampaikan pada gadis itu. Dan tentu saja, Ify dengan sangat halus menolak. Ify bersikeras, jika dia masih bisa membiayai hidupnya. Karena Ify juga masih mempunyai tabungan yang sama sekali belum berkurang. Harta peninggalan sang Ayah untuk biaya pendidikannya. Ify belum memakai uang itu, dan akan ia gunakan jika dia dalam keadaan mendesak.
"Iya, aku baru aja nyampe."
Tepat ketika, Ify turun dari mobil jemputan yang Rio kirim. Ponsel Ify berbunyi dari dalam tasnya. Sebenarnya, Ify tidak terbiasa memakai nada di ponselnya. Dia suka kaget sendiri, jika tiba-tiba ponselnya mengeluarkan suara. Namun, untuk hari ini, Ify berusaha mengalah pada Rio yang tak mau di acuhkan. Sepanjang bekerja, Rio hampir dua puluh kali menelponnya. Dan Ify hanya bisa menanggapi panggilan sebanyak dua kali. Tentu saja Rio tak henti-hentinya menggerutu. Ify mencoba sabar, menghadapi Rio yang kadar kemanjaannya semakin bertambah ketika sakit. Ify baru tahu hal itu, yang terasa sangat menyebalkan. Terlebih selama di telepon itu, Rio selalu memintanya untuk pulang saja. Membuat Ify berpikir, Rio lebih seperti anak di banding tunangan untuknya.
"Kenapa tadi nggak pulang aja ke sini?"
Masih menempelkan ponsel di telinganya. Ify berjalah ke arah lift dan menekan tombol menuju ke atas.
"Nggak enak aku, Yo. Udah, ya? Besok aku ke sana. Tadi udah makan sama minum obat belum?"
Pintu lift terbuka. Dengan segera Ify melangkah masuk. Sambil menanggapi Rio yang berbicara dari seberang.
"Udah."
Ify melihat jam di tangannya setelah menekan tombol menuju lantai kamarnya. "Kenapa nggak tidur. Udah jam sepuluh. Kamu lagi sakit, tidurnya jangan malem-malem."
Rio tertawa kecil di sana. "Perhatian kamu buat aku langsung sembuh tahu, Fy. Nggak tahan, jadi pengen pergi ke tempat kamu sekarang. Boleh, ya?"
Ify tersenyum tipis, sudah terbiasa dengan ke-alayan Rio yang terdengar memuakkan. "Jangan aneh-aneh kamu. Istirahat dulu yang cukup. Kalau udah sembuh, kamu bebas mau ngapain aja."
"Nikahin kamu, ya?" sahutnya tanpa beban. Sedangkan Ify hanya bergumam pelan. Rio tertawa kecil, menebak jika Ify pasti mulai jengah dengan semua ucapan ngaconya.
"Ngapain aja seharian?" Ify melihat angka lantai yang terus berganti.
"Mikirin kamu."
"Selain itu?" tanya Ify lagi. Tak ingin menanggapi apapun gombalan Rio. Dia sudah sangat cukup kenyang.
"Mikirin kamu."
"Aku matiin, nih." Ify mulai jengah.
"Sumpah!" Rio berusaha meyakinkan.
"Hem."
Rio terkekeh renyah. Sebenarnya sedih karena Ify tidak percaya padanya. "Aku cuma jawab Jujur, Fy. Nggak ada yang aku lakuin seharian ini. Cuma tiduran di kamar. Biar nggak bosen makanya aku mikirin kamu."
"Iyain."
"Beneran sayang. Sebagai calon suami yang baik. Aku nggak mungkin bohong." Rio tergelak puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Rasa (New Version)
Teen FictionSaat aku menatap langit di siang hari, di sana aku bisa melihat terik sang surya menyerang ke dua mataku. Seolah memberi perlindungan pada awan putih agar tak setiap orang bisa menikmatinya dengan jelas. Dan itu membuatku berpikir, mungkin aku jug...