62. Jauh

1.4K 160 32
                                    

Ify memijat keningnya seraya meletakkan ponselnya di atas meja rias kamar Sivia. Menyangga sebelah kepalanya yang terasa pening dengan tangan kiri, Ify menatap penampilan wajahnya saat ini di depan cermin. Ify menggeleng pelan, sebagai reaksi atas apa yang terjadi padanya saat ini. Mata sembab dan sedikit berair, hidung merah, juga bibirnya yang kering, bahkan terlihat pucat. Sungguh menyedihkan sekali penampilannya saat ini.

Ify mendesah pelan. Merasakan betapa lemas tubuhnya. Tenggorokannya juga kering karena lelah menangis sepanjang malam.

Sudah empat hari Rio mengabaikannya. Bahkan rencana menemui pak dhe, Ify batalkan karena tidak mungkin dia ke sana dengan keadaan hubungannya bersama Rio sedang dalam tidak baik seperti ini.

Ya, setelah kemarahan Rio kala itu, Ify tidak lagi melihat sosok Rio menemuinya. Padahal, Ify selalu menunggu, berharap Rio datang dan mengatakan bahwa pemuda itu sudah memaafkannya. Tapi, kenyataannya tidak berjalan seperti itu karena hingga detik ini Rio bahkan tidak membaca pesannya. Tidak mengangkat juga panggilannya. Satu hal yang membuat Ify sadar, bahwa dulu Rio sering berada dalam posisinya sekarang. Oleh karena itu, Ify berusaha menahan semua rasa sakitnya untuk tetap bersabar menunggu Rio.

Kembali teringat pada saat terakhir Rio pergi dari hadapannya. Membuat Ify menyesal karena tidak melakukan apapun untuk mencegah Rio. Dia hanya menangis seperti orang bodoh yang tak bisa berpikir. Ya, Ify merasa sangat bodoh saat itu karena tidak ada gerakan untuk berusaha memperbaiki keadaan. Memperlihatkan sisi terlemahnya di hadapan Gabriel yang tiba-tiba datang bersama Sivia entah darimana. Gabriel bahkan sempat mengumpat marah dan berniat mendatangi Rio.

Namun, hal itu jelas tidak akan Ify biarkan. Karena Ify sangat tahu bagaimana perasaan Rio saat ini. Pemuda itu akan jauh lebih kecewa jika Gabriel menunjukkan secara jelas tentang kepeduliaannya. Dan kesalahpahaman yang terjadi akan menjadi parah hingga Rio mungkin akan semakin menjauh darinya. Ify tidak mau itu terjadi. Meminta Gabriel untuk tetap diam karena Ify akan menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Grow up, Fy!" Gumam Ify menegakkan duduknya. Ia menarik nafas panjang dengan kedua tangan sibuk memukul wajahnya pelan. Berharap dengan itu, dia bisa segera sadar dan berhenti meratapi keadaan Ify.

"Fy, sarapan yuk?" teriak Sivia menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang sedikit di buka.

"Duluan aja. Nanti gue nyusul." Ify menoleh.

Sivia terdiam sesaat, kemudian mengangguk menyetujui. "Oke."

Setelah itu, sosok Sivia menghilang dari balik pintu. Mungkin, Sivia mengerti jika Ify masih butuh waktu untuk sendiri. Ya, selama mengenal Ify, Sivia tahu betul bagaimana karakter sahabatnya itu. Lebih suka menyendiri di kala pikirannya memburuk. Lalu, dengan sendirinya, Ify akan tiba-tiba menghampiri Sivia untuk menumpahkan semua kegelisahan hatinya. Sivia, sudah paham sekali bagaimana Ify. Oleh karena itu, dia lebih memilih diam dan membiarkan Ify sejenak mendamaikan hati beserta pikirannya.

Selepas kepergian Sivia, Ify langsung bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tiba-tiba langkah Ify terhenti. Sarapan? Ify sangat jelas tahu kebiasaan Rio dari Lisa jika pemuda itu akan malas makan saat sedang ada masalah dengannya.

Ify memutar tubuhnya, meraih kembali ponselnya. Setelah berhasil mendapat kontak yang ia cari, dengan segera Ify menghubunginya.

"Halo kak, kenapa?"

"Assalamu'alaikum, Cil."

Cecil nyengir di seberang. "Wa'alaikumsalam. Hehe maaf lupa, abis Cecil kaget pagi-pagi kak Ify nelpon. Biasanya kan malem. Masih marahan ya, kak?"

Ify tersenyum tipis. Tingkah Cecil mengingatkannya pada Rio. Iya setiap malam Ify memang menelpon Cecil menanyakan jam berapa Rio sampai di rumah. Dan sejauh ini, jawaban Cecil selalu membuat Ify lebih tenang karena Rio pulang pada jam normal.

Seputih Rasa (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang