11. Kenapa?

1.5K 181 101
                                    

Ify menjauhinya. Gadis itu benar-benar kembali bersikap seperti dulu lagi. Hubungan yang belum sepenuhnya bisa Rio bangun, kini harus kembali pada titik nol lagi. Seperti awal bulan pertama ketika mereka resmi menjadi mahasiswa di kampus ini. Ify bersikap seolah tak melihatnya. Bahkan ketika Rio berusaha menatap gadis itu, Ify tampak tidak menganggapnya ada. Gadis itu tidak memalingkan wajah, hanya menunjukkan wajah datar yang tengah menjelaskan bahwa kehadiran Rio sama sekali tak berpengaruh dalam hidup Ify.

Kenyataan itu, telak membuat Rio terluka. Dia merasa kecewa pada keadaan. Tidak menerima bahwa Ify sama sekali tak menganggap berarti akan semua perhatiannya selama ini. Tidak terima karena Ify menganggap kebersamaan mereka akhir-akhir ini tidak ada artinya sama sekali untuk gadis itu. Padahal, Rio sendiri tengah yakin dengan perasaannya bahwa Ify berhasil memenuhi sebagian besar ruang hatinya. Tidak pernah! Tidak pernah sekalipun Rio merasa terluka akan sebuah penolakan. Karena nyatanya, tak ada dalam sejarah kehidupannya bahwa apa yang ia inginkan itu tidak bisa ia dapatkan.

"Ify." Panggil Rio berusaha kembali. Dia masih belum rela jika Ify bersikap seperti ini padanya. Karena entah kenapa, melihat wajah dingin Ify yang hanya di tunjukkan padanya itu, sangat melukai hati Rio.

"Via, gue duluan, ya?" pamit Ify seraya memakai tas punggung putihnya. Sivia hanya mengangguk seraya mengemasi bukunya. Akhir-akhir ini, mereka memang jarang pulang bersama. Ify menolak, dan Sivia tidak bisa memaksa. Karena dia tahu, Ify bukan tipe orang yang mudah berubah pikiran. Jadi, Sivia membiarkan saja Ify yang selalu pulang naik busway. Ify menjual motornya untuk membayar sisa uang kuliahnya yang harus segera di lunasi agar dia bisa mengikuti ujian di semester pertamanya nanti.

"Fy." Rio sudah berada di belakang Ify. Sedangkan Ify sendiri, belum bangkit dari duduknya. Tubuhnya sempat menegang saat mencium aroma parfum Rio yang sudah lumayan ia hafal. Dadanya menyesak mengingat ternyata Rio jauh lebih buruk dari yang ia duga.

"Fy, di panggil Rio, tuh." Tegur Sivia bingung melihat Ify yang hanya diam. "Lo berdua pasti lagi berantem. Makanya seharian nggak ada lirik-lirikan." Lanjut Sivia menyeledik. Mengingat selama ini ketika dosen menerangkan materi di depan kelas. Baik Rio ataupun Ify selalu tanpa sengaja saling menatap. Yang kebetulan, Rio duduk di seberang tempat duduk Ify. Ah mungkin Rio sengaja supaya bisa melihat wajah Ify dengan leluasa. Dan lagi, Rio juga terlihat menjadi pendiam seharian ini. Bukan Rio sama sekali yang hanya duduk di tempatnya ketika pergantian kelas. Padahal biasanya, pemuda itu selalu usil menggoda sahabatnya. Kalau Ify, sih, Sivia tidak heran.

Alvin tidak ikut kelas di jam terakhir. Dia mendadak harus pergi karena ada suatu hal yang di urusnya. Makanya, saat ini Sivia terasa menjadi hakim yang berusaha menuntut penjelasan dari dua orang yang sudah di anggapnya sebagai sahabat.

"Satu menit aja. Gue mau jelasin sesuatu."

"Waduh. Serius nih kayaknya." Sahut Sivia menyadari raut wajah Rio yang terlihat tidak seperti biasanya. Sivia lantas menatap Ify yang kini berusaha diri untuk tidak menangis. Detik itu juga, Sivia terhenyak dan mengambil tindakan.

"Lo apain, sahabat gue?" tanya Sivia kalem, bangkit dari duduknya. Dia tidak mungkin bersikap kasar, karena Sivia masih sangat menghargai pertemanan mereka.

"Eh nggak. Dia nggak ngapa-ngapain, kok. Udah, yuk kita keluar." Ify menyela tergagap. Karena dia tidak mau jika Sivia sampai membenci Rio karena hal ini. Biar bagaimanapun, Rio itu teman yang cukup baik.

"Oke. Kalau itu mau lo." Sentak Rio kesal. Di abaikan itu jauh lebih sakit. Padahal, Rio lebih ingin jika Ify menampar, memukul atau memaki dirinya saat ini. Rio lantas beranjak keluar kelas yang hanya menyisakan Sivia dan juga Ify di dalam sana.

Masih emosi. Sangat! Tapi sedikitpun Rio belum menemukan cara untuk bisa meluapkan semua perasaan yang kini menumpuk dan membuatnya sesak. Karena tidak mungkin dia membuat keributan di tempat yang cukup terhormat ini. Ya, setidaknya itulah yang ada dalam pikiran Rio sebelum akhirnya dia melihat sosok gadis yang kini menambah tingkat emosinya.

Seputih Rasa (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang