Masih terasa, jika kedua kaki dan tangannya gemetar. Sakit sekaligus takut itu yang saat ini Ify rasakan. Bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Ify tidak tahu bagaimana harus menyikapi hal ini. Sakit. Tentu saja. Sedih. Pastilah iya. Tapi, setelah ini apa yang harus ia lakukan?
"Huuft." Menghembuskan udara. Mengeluarkan sesak dari dalam paru-parunya. Ify mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis.
"Huuft." Lagi, dan berulang kali Ify melakukan hal itu. Melakukan hal yang masih belum membuatnya sadar akan keadaan yang sedang terjadi. Dia tak tahu harus memikirkan apa. Dan dia juga tidak mau memikirkan apapun saat ini. Karena jika dia berpikir, dia takut pikiran itu justru semakin membuat hatinya terasa sakit. Sekuat tenaga Ify tidak ingin menyebut nama kekasihnya. Memikirkannya, Ify tidak mau melakukan hal itu sekarang.
"Nangis aja. Jangan di tahan." Ify menoleh merasakan sentuhan di bahunya. Dan saat itu, ia tahu jika Sivialah yang tengah duduk di sampingnya.
"Sivia-"
"Dari yang gue lihat lo cuma salah paham kok." Sivia tersenyum. Menolehkan kepalanya menghadap Ify lalu mengusap air mata Ify dengan ibu jarinya yang baru saja mengalir.
"Rio sempat mau ngejar lo tadi. Tapi, keknya ada sesuatu yang mesti mereka selesein dulu."
Ify tak mempedulikan ucapan Sivia. Dia memilih menarik Sivia ke dalam pelukannya. Mengetahui jika Sivia tidak marah lagi padanya itu sudah lebih dari cukup untuk mengobati luka hatinya saat ini. "Makasih. Makasih Lo udah nggak marah sama gue. Makasih Sivia. Maaf. Maaf karena gue masih belum bisa jujur sama lo."
Sivia tak bisa menahan air matanya yang seketika mengalir. Dia senang, sekaligus sedih karena masih belum bisa berbuat apa-apa untuk membantu Ify. Mengurangi beban hidup Ify yang harus di tanggung dengan tubuh sekecil itu sendiri. Belum lagi, luka dalam hatinya akibat penolakan bunda. Pasti, Ify menyimpan rapat-rapat luka itu hingga tak ada seorangpun mengetahuinya. Luka yang mungkin sudah parah dan bahkan sudah bernanah. Mengerikan dan sangat menyakitkan.
"Sivia." Lirih Ify mengeratkan diri memeluk sahabatnya. Sivia diam dan hanya mengusap punggung Ify secara perlahan. Dia tahu, jika saat ini Ify mungkin tengah ketakutan. Rasa takut akan sebuah penghiatan yang dulu pernah Ify rasakan. Sivia tahu, jika Ify memeluknya, untuk meredakan sakit hati yang mungkin tidak siap di tanggung oleh sahabatnya ini.
"Tenang, Fy. Nanti, lo bisa bicarain semua sama Rio."
"Gue takut."
"Nggak usah takut. Rio bukan Gabriel, dia berbeda. Cara Rio mencintai lo, berbeda."
Tangis Ify perlahan mereda. Teringat beberapa hal yang sering Rio lakukan padanya. Sikap yang pemuda itu tunjukkan padanya. Semua memang menggambarkan jika Rio sangat mencintainya. Tapi, meski semua terlihat nyata. Ify berusaha untuk tidak mau mengembangkan rasa percayanya. Terlalu sakit jika pada akhirnya akan berujung kecewa.
"Tunggu."
Ify melepas pelukannya dan menatap Sivia bingung. "Lo. Darimana lo tahu gue sama-"
PLETAK!
Satu pitakan Sivia, mendarat di kening Ify.
"Aw. Sakit!" Keluh Ify mengusap keningnya yang terasa nyeri.
"Bodo'! Sahabat macam apa lo, yang anggep sahabat sendiri kayak orang asing."
"Iya maaf."
"Jangan gitu lagi, Fy. Berapa kali gue bilang. Cerita sama gue, apapun itu, cerita!"
"Iya-iya lain kali gue cerita. Gue juga sebenernya mau cerita sama lo di saat gue udah siap. Tapi, lo malah keburu marah sama gue."
"Abis gue kesel sama lo, tahu. Gue lagi bingung mikirin keadaan lo. Dan saat gue ikutin Rio yang ternyata jemput lo. Lo malah kelihatan terbuka ama dia. Di situ gue ngerasa, oh jadi Ify gitu ya sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Rasa (New Version)
Fiksi RemajaSaat aku menatap langit di siang hari, di sana aku bisa melihat terik sang surya menyerang ke dua mataku. Seolah memberi perlindungan pada awan putih agar tak setiap orang bisa menikmatinya dengan jelas. Dan itu membuatku berpikir, mungkin aku jug...