22. Kita

1.6K 152 74
                                    

Hari ini restoran begitu ramai sehingga banyak tenaga yang harus Ify keluarkan. Mengingat bahwa dia hanya pekerja paruh waktu, membuat Ify harus menerima jika sering menjadi objek pegawai lain untuk melakukan berbagai macam pekerjaan. Sepeti halnya mencuci piring, membuang sampah, membersihkan meja dan menyiapkan bahan jika persediaan di dapur sudah habis. Padahal, hampir semua pegawai di sini memiliki porsinya masing-masing dalam bekerja. Tidak seperti dirinya yang harus mau di oper sana sini. Ingin mengajukan protes, tapi Ify merasa enggan melakukan itu karena tidak ingin terlibat dalam suatu masalah dengan siapapun. Jadi, Ify memutuskan untuk diam saja dan melakukan apapun sebisanya.

Ify tidak punya teman di sini. Iya, itu semua memang kesalahannya sendiri karena masih belum bisa untuk berbaur. Ify tahu, ini adalah sikap buruk yang harus ia hilangkan. Mengingat tidak selamanya dia hidup dalam dunianya sendiri, seharusnya hal itu cukup mampu membuat Ify lebih berani untuk mengenal dunia. Terlebih cita-citanya yang ingin bekerja di sebuah perusahaan. Suatu pekerjaan yang pasti sangat mengutamakan apa itu kebersamaan. Kompak dan loyalitas tinggi tergabung dalam sebuah team untuk mengerjakan proyek yang di tugaskan oleh atasan. Tapi, untuk bertindak sejauh itu, Ify masih belum bisa. Memang, dia bisa tampak percaya diri ketika presentasi di hadapan semua temannya. Tapi, semua itu sudah Ify pelajari sebelumnya. Beda dengan saat dia harus memulai suatu obrolan dengan seseorang yang baru di kenalnya.

Ify sudah mengganti seragam kerjanya dengan baju ganti yang memang selalu ia bawa. Biasanya, Ify memakai kembali baju yang tadi di pakai saat kuliah. Tapi, mengingat jika mungkin Rio menjemputnya, membuat Ify tanpa sadar membawa baju ganti lagi. Entah, Ify sendiri bingung kenapa harus melakukan hal tidak penting semacam itu.

"Mari, mbak."

Ify mengangguk ramah ketika salah satu dari empat pegawai tersenyum padanya untuk keluar ruang ganti terlebih dahulu. Tak lama mereka hilang dari pandangan Ify dan menyisakan suara berisik dari mereka yang tengah membahas tentang pekerjaan hari ini.

"Sumpah ya, gue masih nggak nyangka bisa ketemu sama pemilik restoran ini yang ternyata ganteng banget."

"Bener-bener. Senyumnya itu lho bikin hati gue kayak blue band yang di panggang sama chef Budi."

"Alay hahah tapi bener, sih."

Suara itu perlahan menghilang dan berganti dengan sunyi. Karena memang hanya tersisa dirinya di ruangan ini. Ify lantas memutuskan untuk keluar sebelum penjaga restoran ini menguncinya dari dalam.

Menghela itu yang Ify lakukan ketika panggilannya tak di angkat oleh Rio. Melihat jam di pergelangan tangannya Ify tampak ragu untuk menunggu Rio. Namun, dia juga ragu jika harus pulang terlebih dahulu. Ify akan merasa tidak enak jika saja saat ini Rio sedang dalam perjalan dan tidak sempat memeriksa ponselnya. Untuk itu, Ify memutuskan menunggu Rio saja. Dia berjalan menuju kursi panjang yang tetletak di teras restoran.

"Gabriel?" Gumam Ify melihat layar ponselnya menyala dan tertera nama pemuda itu di sana. Ada apa dia menelpon malam-malam begini?

"Halo." Sambut Ify seraya duduk dengan pandangan menatap ke arah jalanan. Siapa tahu saja ada Rio di antara banyak pengendara yang berlalu lalang. Namun sayang, jalan yang penuh dengan berbagai macam kendaraan tak terlihat Rio bersama motor maticnya ada di antara mereka. Tanpa sadar Ify menghela, meredam kegelisahannya.

"Dimana, Fy?" Tanya Gabriel. Terdengar seperti todongan yang menuntut Ify agar segera menjawab.

"Kenapa Iel?" tanya Ify balik tak ingin menjawab pertanyaan Gabriel.

"Nggak. Cuma mau ngobrol sama kamu. Ganggu, nggak?"

Ify diam tak ada niatan ingin menyahut atau apapun. Karena jujur pikiran Ify sekarang tertuju pada Rio yang tak kunjung menampakkan diri. Takut jika sesuatu terjadi pada pemuda itu ketika dalam perjalanan ke tempat ini. Menggeleng keras. Ify berusaha mengusir pikiran anehnya itu.

Seputih Rasa (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang